\"Saya tidak tahu kenapa nama Staquf ditulis seperti itu,\" ujar Arif.
Pentingkah itu? Sampai memakan beralenia-alenia di Disway ini?
Tentu tidak penting. Sama sekali. Tapi itu menarik —setidaknya bagi saya.
Yang saya tahu, Anda semua sudah tahu: bahwa yang penting-penting dari Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama sudah habis dibahas di berbagai media.
Incumbent Ketua Umum KH Said Aqil Siroj kalah.
Incumbent Katib Aam PB NU KH Yahya Staquf menang.
Gus Yahya pun menjadi ketua umum PB NU yang baru —di usia 55 tahun. Itu tiga tahun lebih muda. Yakni dibanding saat Aqil Siroj pertama terpilih sebagai ketua umum, 11 tahun yang lalu.
Pemilihan ketua umum di Lampung itu bukan baik lawan buruk. Juga bukan baik lawan baik. Itu sangat baik lawan sangat baik. Bedanya: Said Aqil Siroj sudah membuktikannya. Begitu banyak universitas NU berdiri.
Begitu sukses lobinya di bidang politik —sampai bisa menjadikan ulamanya menjadi wakil presiden: KH Ma\'ruf Amin. Pun begitu berkibar perjuangan sosialnya: memoderatkan Islam. Lewat gerakan Islam Nusantara.
Gus Yahya masih akan membuktikan kesuksesannya.
Setidaknya track record Gus Yahya sangat jelas: berhasil mengubah Gerakan Pemuda Ansor —organisasi pemuda di bawah NU.
Gus Yahya membangunnya. Membesarkannya. Maka, setidaknya sebagian tugasnya sebagai ketua umum di NU sudah ia selesaikan.
Selebihnya masih banyak yang beliau programkan: ekonomi umat lewat network —istilah yang dipakai beliau: outlet—cabang-cabang NU se Indonesia.
Tapi yang paling banyak dibicarakan adalah keinginannya ini: independensi NU dari partai politik —dengan istilah kembali ke khitah. Tantangan terdekatnya: Pileg dan Pilpres 2024. Anda sudah tahu: birahi politik di kalangan NU sangat tinggi.
Apakah Gus Yahya akan bisa mengendalikannya?
Tentu Gus Yahya akan memulai dengan dirinya sendiri: tidak akan menjadi calon presiden atau pun wakil presiden.