MENGGANTUNG wudhu adalah istilah yang biasa kita dengar untuk merujuk seseorang bahwa ia menjaga wudhunya agar tidak batal akibat hadats kecil yang dialaminya. Hadats kecil bisa karena telah buang hajat seperti kencing dan buang air besar, kentut, tidur, bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram, dan sebagainya.
Terkadang terjadi orang-orang yang membiasakan diri nggantung wudhu bersikap canggung dalam interaksinya dengan lawan jenis yang bukan mahram termasuk suami/istrinya sendiri. Nggantung wudhu adalah baik selama dilakukan secara wajar, namun dalam kasus-kasus tertentu bisa kurang baik.
Misalnya, seorang istri atau suami yang sedang nggantung wudhu merasa tidak nyaman ketika pasangan hidupnya mendekat padanya. Seketika ia mengambil jarak agar wudhunya tidak batal dengan menghindari persentuhan kulit dengan pasangannya.
Dalam memberikan layanan kepada pasangan hidup seperti mengambilkan makanan atau lainnya, seorang istri atau suami kadang melakukannya setengah hati karena khawatir wudhunya akan batal jika terjadi persentuhan kulit.
Sikap seperti ini bisa menjauhkan kehangatan hubungan antara suami/istri dengan pasangan hidupnya. Padahal bersikap hangat dan romantis terhadap pasangan hidup merupakan hal yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kasus lain, misalnya, seorang penjual di sebuah toko bersikap caggung dalam memberikan susuk/jujul (uang kembalian) kepada pembeli karena khawatir akan batal wudhunya akibat persentuhan kulit dengan lawan jenis.
Uang kembalian ia serahkan kepada pembeli dengan tangan yang cekithang-cekithing (ditahan-tahan antara “iya” dengan “tidak”) seolah-olah tangan sang pembeli terdapat najis yang harus dihindari.
Secara fiqih hal ini bisa dipahami tetapi secara akhlak tentu kurang baik karena terkesan kurang ramah dalam melayani pembeli. Apalagi ada adagium bahwa pembeli adalah raja yang harus dilayani dan dihormati dengan baik.
Secara fiqih sikap-sikap seperti itu bisa dipahami, tetapi secara akhlak tentu kurang baik karena terkesan kurang sopan atau kurang hangat dalam bermuamalah kepada pasangan hidupnya.
Suami-istri sangat dianjurkan untuk saling membantu dan melayani secara wajar sebagai wujud cinta kasih dan tanggung jawab masing-masing atas pasangannya.
Pertanyaannya, seperti apakah makna yang benar menjaga wudhu atau nggantung wudhu itu? Apakah dengan menjaga diri dari hadats kecil agar tidak batal wudhunya dalam jangka lama sebagaimana umumnya dipahami banyak orang selama ini?
Ataukah ada makna lain yang lebih sesuai dan wajar dilihat dari segi akhlak dan kesehatan?
Pertanyaan itu bisa ditemukan jawabannya dalam kitab karangan Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudzâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 79-80) yang menasihatkan tentang pentingnya pembiasaan memperbarui wudhu dalam rangka memelihara kebersihan lahir dan batin.
(وعليك) بتجديد الوضوء لكل فريضة واجتهد أن لا تزال على طهارة، وجدد الوضوء كلما أحدثت؛ فإن الوضوء سلاح المؤمن ومتى كان السلاح حاضراً لم يتجاسر العدو على الدنو منك.
Artinya: “Hendaknya Anda membiasakan memperbarui wudhu setiap kali shalat fardhu. Usahakanlah Anda selalu dalam keadaan suci (berwudhu). Perbaruilah wudhu Anda setiap kali berhadats (batal wudhu), sebab wudhu adalah senjata orang mukmin. Selama senjata itu siap, tak seorang musuh pun berani mendekat.”