Saya abaikan sebentar Kiai Nur —khawatir tiga anak muda itu berlalu. \"Saya mau ikut kalian ke sungai. Ingin lihat kalian mencuci baju,\" kata saya.
Yang sebenarnya: saya ingin lebih banyak bicara dengan mereka.
\"Karena Pak Dahlan mau ikut, baiknya lewat sana saja. Lebih mudah,\" ujar Kiai Nur.
Mereka pun balik badan —menuju jalan sempit di sebelah masjid. Kiai Nur ternyata ikut juga.
Ada jembatan kecil di ujung gang sempit itu. Jembatan itu hanya selembar 1 meter tapi terlihat kukuh. Melengkung melintasi Sungai Juweh.
Airnya agak keruh karena memang lagi musim hujan. Batu-batunya tidak banyak —mungkin sudah diambili untuk bangunan.
Ke sungai itulah tiga anak muda tadi turun. Di situ pula mereka akan mencuci baju dan celana. Juga sekalian mandi pagi.
(link YouTube saat di Sungai: https://www.youtube.com/watch?v=A4yPg6iOztM)
Itu belum jam 08.00 Senin pagi kemarin —dua jam setelah saya berangkat dari Kaliurang, Yogyakarta. Rupanya itulah waktu para petani ke ladang atau ke sawah. Makanya sepi.
Saya ngobrol dengan Kiai Nur di atas jembatan itu. Sambil sesekali melirik ke bawah, ke mereka yang mencuci baju. Lalu datang menyusul seorang muda lain.
\"Lahir di sini?\" tanya saya.
\"Tidak. Saya lahir di Jogja. Saya pengacara penduduk di sini, ujar Ashadi Eko. Ia lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. \"Saya adik angkatan Pak Ganjar,\" katanya.
Kami bergegas meninggalkan jembatan itu. Sudah saatnya tiga pemuda tersebut bertelanjang mandi di sungai.
Mereka itu adalah pengurus pusat PMII —organisasi mahasiswa NU. Yakni dari bagian advokasi. Satu berasal dari Tual (Maluku), satu lagi dari Pamekasan, dan yang ketiga dari Situbondo.
Mereka mendampingi warga yang merasa tertekan sejak peristiwa 8 Februari 2022. Kini keadaan sudah cair. Mereka segera balik ke Jakarta.
Sungai Juweh inilah yang memisahkan pedukuhan sebelah sini dan pedukuhan di sebelah sana. Beda posisi beda sikap. Yang sebelah sini banyak yang setuju penambangan. \"Mereka kurang terdampak,\" ujar Kiai Nur.