\"Saya rujak,\" kata saya.
Kena serbu 12 orang —lapar semua— penjual makanan di warung itu bengong. Tidak tahu mana yang harus dituruti lebih dulu.
Bukan.
Dia tidak bengong. Dia merasa tidak mampu melayani serbuan massa yang lapar itu. Dia sendirian. Sudah tua sekali. Gemuk. Giginya ompong. Pakaiannyi lusuh.
Melihat kegamangan itu balik kami yang bengong —bengongnya orang lapar.
\"Bu,\" kata Ivo pada ibu tua itu. \"Ibu duduk saja. Kami bisa melayani diri sendiri,\" tambahnyi.
Ivo dan Isna langsung ke dapur yang sempit. Mereka mencari di mana nasi. Di mana lodeh. Di mana rawon. Di mana piring dan sendok.
Cucu-cucu langsung membuka bungkus mie: bikin sendiri. Mereka hanya minta direbuskan air. Kompor pun dinyalakan. Sang ibu-tua hanya bisa melongo. Warungnyi telah dikudeta.
Saya sendiri menuju cobek itu: mengambil kacang goreng dari toples plastik. Cabe. Garam. Petis. Dan sedikit gula merah. Saya juga ambil pisau. Saya iris-iris pisang kluthuk muda yang jadi kelengkapan bumbu rujak.
Semua itu saya jadikan satu onggokan di cobek batu. Saya uleg mereka dengan uleg-uleg batu. Sampai lumat. Saya beri air sedikit. Saya tambahkan irisan tahu. Dan lontong. Dan sayur satu-satunya yang ada di situ: kacang panjang rebus.
Kami pun makan siang dengan serunya. Sang Ibu-tua tidak perlu merinci apa saja yang kami makan. Tidak akan bisa. Hitungan porsinya rusak semua.
Yang penting kami senang bisa makan. Dan Sang Ibu-tua juga senang dagangannya laris. Kami juga membeli sendok dan piringnyi.
Hanya saja saya tidak bisa membeli warung itu sekalian. Itu bukan hak miliknyi. \"Kami numpang di sini,\" katanyi.
\"Sudah berapa tahun?“
“Sudah 40 tahun“.
“Di mana anak-anak?\"