PRESIDEN Jokowi tinjau pasar. Cek minyak goreng. Dua hari lalu.
Perasaan publik langsung meraba: larangan ekspor CPO pun pasti dicabut. Segera. Apa pun hasil peninjauan itu.
Benar. Anda pun segera tahu. Tidak sampai 24 jam kemudian larangan ekspor CPO dicabut.
Presiden sendiri yang mencabutnya. Umur larangan itu lebih panjang sedikit dari langkah serupa di batu bara: 25 hari. Tidak ada yang berani mencoba mencabut sebelum itu.
Ups...pernah.
Ia adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartanto. Ia tidak mencabut tapi sedikit bersiasat: yang dilarang hanya bahan baku minyak goreng. Tidak termasuk CPO.
Siasatnya itu ternyata menyesatkannya. Justru ia kena skak mat. Langsung dari Presiden Jokowi. Saat itu juga.
Kini drama minyak goreng berakhir.
Pencabutan larangan ekspor itu memang satu keniscayaan. Pun seandainya harga minyak goreng tidak bisa di level Rp 14.000/kg.
Larangan itu, kalau diterus-teruskan, buntutnya memang panjang. Bisa lebih panjang dari rambut Yuli Leli Herdiyanti –yang Anda sudah tahu siapa dia. Bahkan lebih panjang dari rambut Beatrice Anggraini Pramana.
Buah sawit itu –Anda juga sudah tahu– harus dipanen 15 hari sekali. Kalau tidak, sawit akan rontok sia-sia.
Dari pada sia-sia petani menjual paksa. Biar pun harga lebih murah. Itulah yang membuat harga sawit terus menurun. Terakhir tinggal sekitar Rp 1.600/kg. Dari sebelum larangan sapu jagat yang mencapai Rp 2.400/kg.
Pohon sawit mulai berbuah di tahun ke-3, tapi baru berbuah bagus di tahun ke-5. Lebih bagus lagi di tahun ke-8, sampai tahun ke-33. Setelah itu produktivitasnya terus menurun. Harus diremajakan.
Saya pun belajar ke Tini Lolang. Pemilik kebun sawit beberapa hektare di Kaltim. Dari mana Tini, lulusan Amerika, tahu sawit itu sudah matang –sudah waktunya dipanen?
Ada tanda-tanda alamnya. Kalau di bawah pohon sudah ada sekitar 10 biji yang jatuh sendiri (gogrog), itulah saatnya dipanen.