Ada unsur pemberontakan di dalamnya. Dan pengungkapan ketidakadilan.
Sebagai orang yang suka humor ia sangat disukai teman-temannya. Tapi sebagai tim peneliti ia kurang dianggap \'\'terlalu lurus\'\' –begitu banyak peneliti yang tidak disukai karena kelurusannya. Ia bukan satu-satunya.
Maka Indro diberi proyek yang paling tidak menarik: meneliti PMK. Di tahun 2007. \"Bayangkan, Indonesia sudah dinyatakan bebas PMK. Saya justru disuruh meneliti bidang itu. Apanya yang harus diteliti?\" ujarnya.
Apalagi biaya yang diberikan juga sangat minim. Sampai-sampai tidak cukup untuk ke Entekong. Indro begitu ingin ke perbatasan Kalbar-Serawak itu.
Logikanya, kalau terjadi penularan, pertama-tama pasti terjadi di perbatasan. Apalagi perbatasan di Entekong itu perbatasan darat. Dan lagi Malaysia belum termasuk yang sudah bebas PMK.
Akhirnya Indro memilih ke Riau. Maunya juga ke dekat-dekat wilayah Selat Malaka. Biar pun perbatasannya berupa laut, siapa tahu ada penularan.
Biaya yang diberikan juga tidak cukup. Pun ke Riau-perbatasan.
Indro memutuskan untuk di Kota Pekanbaru saja. Ia datangi tempat pemotongan sapi di situ. Logikanya: sapi dari banyak daerah toh dipotong di situ. Ambil contoh darahnya pun mudah.
Hasilnya?
\"Lebih 20 persen sampel yang saya ambil memiliki antibodi,\" ujar Indro mengingat-ingat peristiwa lama.
Kesimpulan Indro: itu berarti sapi tersebut pernah tertular PMK. Sembuh. Punya antibodi. Berarti PMK sudah masuk ke Indonesia. Hanya saja tidak termonitor.
Indro yakin sapi yang ia teliti itu bukan sapi yang pernah mendapat vaksinasi. Anti bodi itu bukan dari hasil vaksinasi. Kan program vaksinasi sudah sangat lama tidak dilakukan lagi.
Laporan Indro itu menggemparkan. Diam-diam. Di dalam selimut kalangan peneliti. Pun kalau keluar selimut hanya sampai di sekitar ranjang pejabat terkait.
Indro disuruh diam. Jangan sebarkan-sebarkan hasil penelitiannya itu. Indonesia akan malu kepada dunia. Ia pun kian tidak diberi proyek penelitian.
Dan Indro akan \'\'dibantai\'\'.
Lewat penelitian tandingan.