Ups... Belum. Ia putar-putar dulu teko itu. Putarannya ke arah kiri. Mirip para penggemar red wine memutar gelas berisi anggur merah. Selesai. Ia cium aroma dari dalam teko itu. Ia terlihat puas.
Gelas-gelas kecil disiapkan untuk kami berempat. Pelit sekali. Gelas ini kecil sekali. Isinya pasti sedikit sekali. Gelas ini tebal sekali, terutama separo bagian bawahnya.
Jo buru-buru menyajikan air soda ke saya. \"Minum dulu soda ini sedikit. Baru minum kopinya nanti,\" ujar Jo. Ia pemilik bengkel khusus: mobil-mobil mahal. Supercar. Jo jugalah yang sedang memodifikasi mobil Jaguar saya. Untuk dijadikan mobil listrik.
Mengapa harus minum air soda dulu? “Biar mulut kita netral. Dengan demikian bisa merasakan rasa kopi sesuai dengan rasa sejatinya,\" ujar Jo.
Saya seruput air soda dingin itu. Sedikit. Saya tidak suka soda. Juga tidak suka air dingin.
Nasrullah lantas menuangkan kopi bikinannya itu ke gelas saya. Gelas kecil itu. Tidak penuh. Tidak sampai setengahnya. Hanya seperempat gelas. Mungkin hanya sebanyak tiga sendok.
Melihat begitu sedikitnya, kopi itu nanti kayaknya tidak akan sampai di perut. Jangan-jangan tidak sampai melewati tenggorokan.
Saya pun ikut-ikutan: menciumi dulu aroma kopi di gelas itu. Persis gaya orang minum wine. Saya sesap sedikit isinya. Satu sesapan. Ini mah bukan minum kopi. Kata minum tidak cocok dipakai di ritual ini.
Setelah sekali sesap mulut sedikit komat kamit –seperti sedang mencari rasa apa yang terkandung di dalamnya. Inilah sejatinya rasa kopi.
Nasrullah telah mengajarkan ke saya ilmu sejati jenis lain. Yakni setelah 50 tahun saya mendapat pelajaran ilmu sejati dalam pengertian ketuhanan.
Jadi, apakah rasa sejati kopi? Saya tidak boleh menjelaskan kepada Anda –sebelum Anda mencapai level makrifat, makrifat kopi. Artinya: saya tidak tahu juga.
Saya menghabiskan 3 gelas kali seperempat kopi kearifan lokal itu. Dalam 10 menit. Tiap satu menit satu sesapan.
Habis. Dituangkan lagi. Sedikit. Di sesap lagi. Habis lagi.
Nasrullah pun menjalankan birokrasi berikutnya: kopi Colombia Wush Wush. Dengan ritual yang sama.
Wush Wush harganya was-was. \"Saya tidak mampu membeli kiloan. Saya hanya mampu membeli sachetan 18 gram,\" katanya. Berapa harga Wush Wush 18 gram itu? \"Rp 500.000,\" ujar Nasrullah.
Inilah yang ingin saya sampaikan ke Gubernur Lampung. Atau gubernur mana saja. Yang daerahnya penghasil kopi. Atau, jangan-jangan mereka sendiri sudah lebih tahu.