Pemilik Teja Suar Meradang

Senin 02-12-2013,10:27 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

**Merasa Dipojokkan, Tuduh Permainan Makelar Tanah     CIREBON – Setelah lebih dari sepekan, akhirnya pemilik Masjid Teja Suar, H Maulwi Saelan buka suara terkait penjualan lahan yang di atasnya berdiri tempat ibadah itu. Dalam rilis yang dibagi-bagikan orang yang mengaku suruhannya, Saelan meradang karena merasa dipojokkan atas polemik penjualan masjid. Bagi Saelan, menjual tanah itu merupakan haknya. Apalagi, dirinya sudah tidak tinggal di Cirebon lagi, karena sudah tua. Sementara tidak ada yang bisa diharapkan dari keluarganya untuk merawat asetnya. Dia khawatir, jika dirinya meninggal justru akan menimbulkan permasalahan baru. Saat ini, Saelan mengembalikan kepada masyarakat setempat. Jika memang masjid itu fungsi sosialnya masih diinginkan, maka dirinya telah menyediakan lahan dan menyiapkan dana untuk itu. “Jikalau memang masyarakat tidak mau menerima dan tidak ingin saya mempertahankan keberadaan Masjid Teja Suar dengan cara menggesernya sedikitpun dari posisinya sekarang, maka saya tidak bisa berbuat banyak. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menghalangi niat saya untuk membangun masjid dan berbuat kebaikan, apapun bagi masyarakat lain yang lebih membutuhkan,” tegasnya. Dalam rilis itu, Saelan mengaku selama polemik penjualan Teja Suar bergulir, dirinya merasa dipojokkan, tendensius dan tidak berimbang. Saelan menegaskan, pemberitaan yang menyatakan dirinya telah menjual masjid Teja Suar sangatlah provokatif, menyebar fitnah, tidak berimbang dan tidak menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Saelan menjelaskan, Masjid Teja Suar didirikan olehnya di atas tanah pribadi miliknya dengan biaya sendiri pada tahun 1976. Masjid itu beserta tanahnya tidak pernah diwakafkan kepada siapapun hingga hari ini. Bahkan waktu itu, dirinya meminta kepada Buya Hamka untuk meresmikan Masjid Teja Suar. Dia mendirikan masjid itu semata-mata atas pertimbangan bahwa di tempat itu belum tersedia masjid bagi masyarakat setempat waktu itu. Selama 10 tahun, kata Saelan, masyarakat di sekitar telah memanfaatkan masjid tanpa membebankan biaya apapun. Namun belakangan, dirinya mendapat informasi dari masyarakat sekitar bahwa masjid tersebut semakin sedikit jamaahnya, terutama jamaah rawatib. Kecuali pada hari Jumat dimana banyak pengendara dan orang lalu lalang yang melaksanakan salat. “Saya sendiri tidak tahu persis sebabnya. Tetapi keterangan dari beberapa orang dan masyarakat setempat, antara lain menyampaikan bahwa semakin banyak bertumbuhan masjid lain yang saling berdekatan. Atas dasar pertimbangan tersebut, dan beberapa pertimbangan lainnya, Saelan berniat memindahkan dan mengalihkan fungsi masjid kepada masyarakat setempat melalui organisasi yang mewakili arus utama keislaman di sana,” ujarnya. Dirinya berkeyakinan, dengan mewakafkan dan menyerahkan pengelolaan masjid tersebut kepada masyarakat setempat, maka Masjid Teja Suar akan makmur kembali. Untuk merealisasikan maksud tersebut, dirinya merencanakan sekaligus melepaskan tanah tersebut ke pihak lain. Namun demikian, sebelum tanah dialihkan ke pihak lain, dirinya berniat menggeser posisi masjid ke atas tanah lain  yang telah disiapkan hanya berjarak 20 meter saja dari lokasi sekarang. Bahkan rencannya, masjid itu akan dibangun dengan model yang sama persis seperti sekarang, agar kenangan indah atas masjid dengan arsitektur khas itu tidak hilang dari ingatan. Di samping itu juga, memberikan akses khusus dari tanah yang sekarang agar masyarakat dapat dengan mudah menjangkau masjid itu dari jalan Tuparev. Setelah selesai pembangunannya, nanti akan diwakafkan,” bebernya. Untuk menjaga kehati-hatian, Saelan mengaku meminta fatwa dari ulama-ulama Jakarta agar saya yakin betul bahwa apa yang saya lakukan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Saelan menegaskan, sekelompok orang yang juga makelar tanah yang merasa tidak akan memperoleh bagian apa-apa dari rencana pengalihan tanahnya mulai berulah. Begitu juga beberapa orang takut kehilangan mata pencahariannya jika masjid itu diserahkan ke organisasi tertentu yang merasa tidak akan mendapatkan tempat lagi di masjid itu. Karenanya, mereka memprovokasi masyarakat seakan-akan masjid telah dijual. “Di mana kesalahan saya? Jika sebuah masjid yang berdiri di atas tanah saya, yang saya bangun dengan biaya saya sendiri, lalu saya pindahkan beberapa meter di atas tanah saya juga, untuk keperluan yang sah menurut hukum dan agama? Apakah ini salah?” ujarnya. (abd)      

Tags :
Kategori :

Terkait