Teroris Berkepentingan dengan Pemilu

Jumat 20-12-2013,10:26 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA – Sebanyak 87 terduga teroris yang diringkus Densus 88 sepanjang tahun ini membuktikan jika aksi kekerasan mengatasnamakan agama masih potensial muncul. Kemarin, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melansir ancaman terorisme yang mungkin terjadi pada tahun 2014. Selama 2013, aktivitas terorisme di Indonesia cenderung landai. Meski sempat terjadi lima kali peristiwa penembakan polisi, ancamannya masih lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2012. \"Kalau lihat kejadiannya, tahun 2013 kasus teror bom relatif sangat sedikit. Kalau toh ada, dalam skala kecil,\" terang Kepala BNPT Ansyaad Mbai kemarin. Pada 2012, jumlah teroris yang tertangkap dan diadili mencapai 89 orang. Saat ini, banyak pergeseran dalam aksi terorisme di Indonesia. Ansyaad menyebut tahun 2014 diperlukan kesiagaan yang lebih dari aparat untuk mengantisipasi aksi teroris. Sebab, mereka disinyalir sudah mulai memiliki kepentingan dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Sebagai contoh, peristiwa Bom Mega Kuningan 2009 yang terjadi hanya selang sembilan hari setelah pelaksanaan pemungutan suara pilpres 2009. Pelakunya kelompok Noordin M Top, yang jika dirunut ada keterlibatan Fadli Sadama di sana. Kemudian, pada 2012 terjadi insiden pelemparan bom terhadap Gubernur Sulsel kala itu, Syahrul Yasin Limpo. Pelakunya dipastikan kelompok teroris Poso. Diduga, hal itu ada kaitannya juga dengan rencana pemilihan gubernur dan wakil gubuernur Sulsel. \"Teorinya, musuh mereka yang terbesar adalah demokrasi. Pemilu adalah pilar demokrasi yang utama. Maka, asumsinya, pemilu jadi target,\" tuturnya. Untuk menekan kemunculan para teroris baru, pihaknya telah membuat beberapa program. Salah satunya, mengundang ulama asal Timur Tengah untuk berdialog dengan para terduga dan narapidana teroris. Salah seorang ulama yang didatangkan adalah Dr Najih Ibrahim, pendiri Jamaah Islamiyah Mesir. Najih dipertemukan dengan Abu Bakar Baasyir di Lapas Batu Nusakambangan. Menurut sejumlah tahanan, dialog berlangsung hangat dan lancar. Begitu pula dengan dua ulama lain yang didatangkan untuk dialog. \"Mereka tidak mendikte, namun meluruskan,\" urainya. Para terduga dan narapidana teroris itu diminta menguraikan pemahaman mereka tentang jihad yang diyakini. Setelahnya, para ulama itu mulai menanyakan soal dalil-dalil yang digunakan para napi. Mulai tahun keluarnya, konteksnya, dan momen apa yang menyertai turunnya dalil tersebut. Ternyata, mereka yang kebanyakan masih muda itu mengaku tidak mengerti. Jika sudah ada ungkapan tidak mengerti, barulah sang ulama memberi pemahaman. Ketiga ulama itu beralasan, saat masih radikal, pemahaman mereka sama persis seperti para napi teroris yang diajak berdialog. Sementara itu, Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Agus Surya Bakti menuturkan, saat ini pihaknya telah membuat perencanaan kontraterorisme lewat media, terutama media internet. Upaya tersebut dilakukan untuk mengimbangi gencarnya propaganda teroris lewat dunia maya pula. Menurut dia, publikasi media membuat teroris seakan setara dengan pemerintah maupun masyarakat yang antikekerasan. Karenanya, butuh upaya yang sama untuk menangkal propaganda tersebut. \"Sudah ada blue print deradikalisasi dan selesai tahun ini, tinggal dijalankan,\" terangnya. Tahun depan, pihaknya membuat rencana aksi yang lebih bersifat teknis. Misalnya untuk terduga teroris yang ditangkap, akan ada program deradikalisasi sejak ditahan, diperiksa, putusan pengadilan, dibina di Lapas, hingga bebas. Meski dia keluar dari penjara, program akan terus berlanjut hingga ada kepastian mereka tidak akan berbuat hal yang sama lagi. (byu)

Tags :
Kategori :

Terkait