JAKARTA - Dua peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat memfokuskan materinya pada dua isu yang berbeda saat berbicara dalam acara bertajuk Meet the Press hari kedua kemarin (7/1). Ali Masykur Musa menyoroti toleransi beragama, sedangkan Gita Wirjawan berbicara mengenai ekonomi kerakyatan. Ali Masykur yang mendapat giliran pada sesi pertama mengungkapkan, saat ini rakyat menghendaki sebuah kehidupan yang lebih tenteram dengan toleransi beragama yang kuat. \"Intoleransi harus disudahi. Bangsa yang besar adalah yang mampu meramu pluralisme sebagai kekuatan,\" kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. Dia mengaku mendapat masukan tersebut saat bertemu para tokoh lintas agama belum lama ini. Mereka menyuarakan sikap intoleransi yang saat ini banyak terjadi harus dipikirkan pemimpin bangsa. Sebagai negara yang berdasar Pancasila, Indonesia harus mampu meredam eksploitasi agama dan konflik antarumat beragama. \"Inilah tugas pemimpin untuk menciptakan kehidupan yang tenteram,\" katanya. Ali Masykur juga menyoroti masih adanya konflik yang berkorelasi dengan politik dengan menjadikan agama sebagai komoditas. \"Padahal, tidak ada Indonesia tanpa pluralisme,\" imbuhnya. Karena itu, menurut dia, syarat utama pemimpin Indonesia adalah sosok yang harus menjunjung tinggi perbedaan. Mantan anggota DPR tersebut menyatakan, negara juga harus ikut andil dalam toleransi itu. Misalnya, melindungi semua tempat ibadah. Ali mengaku akan mengangkat ide-ide Gus Dur terkait dengan pluralisme. Sementara itu, sesi pertama yang menghadirkan Ali Masykur relatif lebih sepi jika dibanding sesi berikutnya saat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mendapat giliran. Puluhan pendukung Gita memadati kantor Komite Konvensi. Bahkan, Gita yang didampingi istrinya, Yasmin Wirjawan, berjalan kaki dari poskonya yang berdekatan dengan diiringi tokoh wayang petruk-gareng. Dalam paparannya, Gita yang sempat disodori pertanyaan soal neolib oleh panelis justru mengaku tidak paham dengan tudingan itu. Dia juga tidak memberikan retorika sebagai jawaban atau solusi atas tudingan yang diarahkan kepada dirinya. Namun, Gita menyampaikan sejumlah kebijakan yang disebut berpihak kepada rakyat. Misalnya, sebagai Mendag, dirinya membatasi jumlah waralaba toko modern tidak lebih dari 250 gerai. Menurut dia, hal itu tidak hanya menjamin pemberdayaan daerah, namun juga menjaga kesinambungan serta pemerataan. Begitu juga kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan yang justru menggiatkan industri di dalam negeri. \"Apa itu tidak prorakyat?\" ujarnya dengan nada bertanya. Mantan kepala BKPM tersebut mengungkapkan, dengan ekonomi yang memperhatikan rakyat, keinginan rakyat bisa dijangkau dan dipenuhi. Baik itu produk pertanian maupun industri. \"Rakyat yang di paling barat bisa merasakan seperti yang di paling timur. Sama seperti yang di utara dan selatan. Inilah pemerataan yang harus dilakukan ke depan,\" tegas Gita. (fal/c5/fat)
Bahas Intoleransi dan Ekonomi Kerakyatan
Rabu 08-01-2014,15:02 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :