RADARCIREBON.COM - Ada pertanyaan, mengapa jatuhnya waktu Hari Raya Idul Adha di Indonesia terjadi perbedaan? Sepertinya ini pertanyaan yang sepele. Tetapi sesungguhnya ini pertanyaan yang mendasar.
Pertanyaan ini harus mendapatkan jawaban yang tepat. Tujuannya jika sudah paham, maka bangsa ini sudah tidak canggung membiasakan perbedaan.
Seperti diketahui, perbedaan Lebaran Idul Adha itu dikarenakan adanya metode penetapan awal bulan dalam kalender Hijriah atau kalender Islam yang juga berbeda.
Ini berbeda dengan sistem penanggalan kalender Masehi, yang banyak digunakan saat ini. Sehingga penentuan awal bulan Hijriah perlu dilakukan melalui beberapa metode.
BACA JUGA:Ironi di Rutan KPK, dari Dugaan Pelecehan Seksual Merembet ke Pungutan Liar
Di Indonesia sendiri, ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriah. Yakni metode rukyat dan metode hisab.
Mengutip situs Majelis Ulama Indonesia (MUI), rukyat artinya melihat, sementara hisab artinya menghitung.
Dalam konteks penentuan awal bulan Hijriah, rukyat artinya melihat hilal atau bulan baru di ufuk. Baik menggunakan mata kepala secara langsung atau menggunakan alat bantu seperti teropong.
Jadi, hilal atau bulan baru harus benar-benar terlihat secara pasti untuk menentukan dan memastikan apakah sudah memasuki awal bulan atau belum.
Sementara metode hisab itu menentukan awal bulan Hijriah mengandalkan hitungan ilmu falak atau ilmu astronomi. Hal itu guna memastikan apakah hilal sudah wujud atau belum.
Jadi, tidak perlu benar-benar melihat hilal secara langsung. Metode hisab cukup dihitung saja dengan perhitungan matematis, astronomis.
Perbedaan itu yang menyebabkan Muslim di Indonesia akan merayakan Hari Raya Idul Adha dalam waktu yang juga berbeda.
Pemerintah menetapkan hari raya keagamaan Haji pada Kamis, 29 Juni 2023. Sedangkan ormas keagamaan Muhammadiyah misalnya, dengan jadwal yang berbeda.