Mariadi mengaku, dirinya adalah pelaku perjalanan udara terutama domestik yang cukup sering mengunjungi berbagai kota.
“Saya sendiri hanya terbang domestik Medan, Padang, Palembang, Denpasar, Makasar, Palu, Ambon, juga Papua Jayapura, Manokwari dan Sorong,” tuturnya.
Sementara sang anak yang bekerja di perusahaan asing lebih sering bepergian ke luar negeri.
Di sisi lain, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman justru berpendapat lain. Menurutnya, Jawa Barat memang tidak punya opsi lain untuk bandara internasional.
BACA JUGA:3 Perkutut Katuranggan Penangkal Ilmu Hitam, Awas Jangan Tertipu dengan Perkutut Putih
Tetapi, dirinya juga tidak setuju kalau nantinya Bandara Husein Sastranegara ditutup. Yang dilakukan hanya membagi penerbangan. “Husein tetep dibuka untuk rute-rute pendek domestik pake ATR,” kata Gerry.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah agar masyarakat juga mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) untuk menyediakan sarana transportasi publik yang memadai. Terutama untuk pasar penumpang dari Bandung ke Bandara Kertajati.
“Sekarang mending minta sama pemprov Jabar untuk public transport yang handal ke KJT. Kalo nggak diberikan, bakal pada ke HLP (Halim Perdanakusuma) dan CGK (Bandara Soekarno Hatta) juga nantinya,” ungkapnya.
Misalnya menyediakan kereta bandara. Tetapi, ini butuh waktu yang tidak sebentar dan investasi terbilang mahal.
BACA JUGA:Sejarah Bandara Kertajati yang Melibatkan 3 Presiden, Terungkap Kenapa Dibangun di Majalengka
Karenanya, ketika jalan tol sudah menyambung dan waktu tempuh menjadi masuk akal, tinggal masalah harga agar murah.
“Yang lagi nge-trend sih kereta ke bandara. Kkalau mau pun pasti butuh waktu lama dan investasi gila-gilaanan lagi. Ok, kalo bus? Bisa menarik butuh 2 hal: Harga murah, jadwal teratur dan bisa diandalkan,” katanya.
Gerry menilai, penyesuaian harga terutama di awal masa pembukaan penerbangan sangat penting.
“Harga murah di awal ini sangat dibutuhkan di awal biar masyarakat bisa tau aksebilitas yang diberikan apa,” bebernya.