BACA JUGA:Penyebab Banjir Panguragan Cirebon, Bukan Tanggul Jebol, Begini Penjelasan BPBD
BACA JUGA:Inilah 5 Rekomendasi Obat Panu yang Paling Ampuh yang Bisa Ditemukan di Apotik
Menurut Jeremy, pada 1920 sampai 1970-an, banyak toko berderet di sepanjang kawasan Kalibaru dan Sukalila Kota Cirebon.
Tidak dipungkiri, makam Tan Sam Tjay yang membuat kawasan tersebut cukup ramai. Banyak warga keturunan Tionghoa berziarah. Tidak hanya saat perayaan Ceng Beng.
Bahkan, pada 1950 hingga 1970-an masih ada seorang ahli ramal yang membuka jasa meramal nasib di depan makam Tan Sam Tjay.
Banyak warga yang mendatangi peramal tersebut untuk menerawang masa depannya. Hal itu menjadikan kawasan Kalibaru dan Sukalila ramai dikunjungi para pendatang.
“Prinsip pengusaha Tionghoa itu jangan sampai kulit terkena sinar matahari. Artinya, pergi ke toko sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Itulah yang membuat mereka dikenal ulet,” ungkap Jeremy.
Masih menurut Jeremy, ada satu hal yang perlu dicontoh dari para pengusaha tersebut. Meskipun kondisi saat itu tengah dilanda banyak cobaan, mereka tetap bertahan.
Bayangkan, ada wabah flu spanyol pada masa perang dunia 1, wabah malaria pada tahun 1927-1933, hingga perang dunia kedua. Tapi para pebisnis itu tetap bertahan cukup lama.
“Juga pajak yang terlalu tinggi dari pemerintah kolonial Belanda juga membuat mereka terpuruk. Tapi mereka tidak mudah menyerah dalam kondisi apapun. Mereka tetap dapat menciptakan peluang di saat situasi sulit dan terhimpit,” ungkapnya.