Berdasarkan pemaparan, diskusi bersama pemateri dan peserta rembug, sosialisasi dan diskusi lanjutan setelahnya, pihaknya dapat mengambil beberapa kesimpulan.
Yang pertama, kenaikan nilai PBB untuk tahun 2024 dibanding tahun 2023 berdasarkan laporan sebagian masyarakat, mencapai di atas 150 persen bahkan ada yang mencapai lebih dari 1.000 persen.
"Hal tersebut membuat masyarakat terkaget, marah, resah, mengeluh dan menganggap pemerintah telah menyakiti mereka," kata Hetta di hadapan para anggota dewan.
Karena menurutnya, saat ini masyarakat sedang berupaya untuk mengembalikan kondisi ekonomi mereka yang mengalami kerugian lebih dari 3 tahun.
"Kembali mereka dihantam dengan kenaikan PBB," jelasnya.
Yang kedua, Kenaikan PBB tersebut dipicu dari adanya perubahan sehubungan UU No. 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UUHKPD) yang ditindaklanjuti dengan pembuatan PERDA No. 1 tahun 2024 dan peraturan pelaksanaannya.
Hal tersebut dimanfaatkan Pemkot dan DPRD sebagai upaya meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) yang nyatanya masih sangat kecil.
Menaikkan PAD dengan berfokus pada menaikkan nilai PBB, adalah pilihan yang kurang bijak, karena artinya membebani masyarakat, manambah susah masyarakat.
"Semestinya Pemkot menempuh cara-cara lain yang lebih kreatif untuk meningkatan PAD-nya, ketimbang membuat kegaduhan dan kesulitan di masyarakat, misalnya ada BUMD, lahan parkir, retribusi resto hotel dan lain sebagainya," ungkap Hetta.
Yang ketiga, selain motif meningkatkan PAD, patut diduga upaya menaikkan PBB juga karena adanya pertimbangan pemberian insentif pemungutan pajak dan retribusi terhadap pencapaian kinerja tertentu.
Dimana hal tersebut, sesuai dengan ketentuan PERDA No. 1 tahun 2024 pasal 96, diatur oleh Peraturan Walikota.
"Hal ini tentunya dapat diterima jika pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan pajak dan retribusi dilaksanakan berdasarkan asas kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas disesuaikan dengan besarnya tanggung jawab, kebutuhan, serta karakteristik dan kondisi objektif daerah," katanya.
Sementara itu, Ruli Tri Lesmana selaku Ketua DPRD Kota Cirebon mengatakan, membuat kebijakan kenaikan pajak dan pendapatan daerah merupakan tugas Anggota DPRD Kota Cirebon Komisi II.
"Namun untuk kebijakan kenaikan pajak peraturan daerah per wali dalam meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak PBB," kata Ruli.
Anggota dewan sebutnya, tidak mencantumkan presentase besarnya kenaikan pajak PBB, semua adalah kebijakan walikota.
"Kami juga mengadakan kenaikan pajak dengan dasar persamaan adanya kenaikan pajak yang diatur oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat dalam meningkatkan pendapatan daerah dan kemajuan pembangunan suatu daerah tersebut," ucapnya.