Tolak Power Wheeling, Benalu Transisi dan Ketahahan Energi Nasional

Rabu 11-09-2024,17:17 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

JAKARTA, RADARCIREBON.COM  – Power Wheeling, sebuah konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan tajam dalam membahas kebijakan energi Indonesia.

Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi yaitu Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.

Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.

Sementara itu, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya. Model kedua ini menggunakan jaringan transmisi dan didistribusikan sebagai "jalan tol" dengan skema akses terbuka, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar "Biaya Tol".

BACA JUGA: Gagal Salip Truk Gandengan dari Kiri, Warga Kelurahan Kalijaga Terlindas

Namun penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan, baik dari bidang keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi. Berikut analisis dampak Power Wheeling berdasarkan berbagai perspektif.

A. Dampak Keuangan :

2

1. Penurunan ketidakpuasan Organik dan Non-Organik

Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Tegangan Tinggi (KTT) pelanggan hingga 50%. Hal ini akan memutar pada memuat beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.

2. Beban Keuangan Negara

Setiap 1 GW (gigawatt) pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara.

Dampak akumulatif hingga tahun 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun.

BACA JUGA: Driver Ojol Mengeluh Soal Pungutan Parkir Restoran di Cirebon, Kadishub Mengaku Baru Dengar

B. Dampak Hukum

1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2002

Kategori :