JAKARTA, RADARCIREBON.COM – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN (Persero) Abrar Ali mengapresiasi sikap Komisi VII DPR RI yang dengan tegas menolak kebijakan skema power wheeling yang terdapat dalam RUU EBET.
Sikap ini sangat bijak dan mengandung nilai-nilai patriotik. Skema tersebut baiknya dihapuskan dari RUU EBET, karena lebih besar mudaratnya dibanding manfaatnya bagi negara dan masyarakat.
“Kita apresiasi sikap Pak Mulyanto (Anggota Komisi VII DPR RI) yang dalam pernyataannya dengan tegas menolak power wheeling yang ada dalam RUU EBET.”
BACA JUGA:Kembali Raih Emas dari Cabor Bulutangkis, Jabar Hattrick Juara PON Didepan Mata
BACA JUGA:Perdalaman Ilmu Jurnalistik, SMAN 1 Batarujeg Kunjungi Kantor Radar Cirebon
BACA JUGA:Pelindo Mengajar Pelindo Hadir di SMA Negeri 8 Kota Cirebon
“Atas nama SP PLN, kita sampaikan terimakasih kepada beliau, karena beliau ternyata sangat respon terhadap suara yang kita sampaikan selama ini terkait permasalahan power wheeling yang memberi dampak negatif bagi negara dan masyarakat,” ungkap Abrar pada media di Jakarta, Rabu 18 September 2024 menanggapi batalnya Raker Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, pada Rabu 18 September 2024 yang akan mengambil keputusan Tingkat I RUU EBET (Energi Baru Energi Terbarukan).
Pembatalan tersebut dikarenakan DPR dan Pemerintah belum sepakat terkait norma tentang power wheeling.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, kepada media di Jakarta, pada Rabu 18 September 2024 menyampaikan, pihaknya batal melakukan rapat dengan Kementerian ESDM dikarenakan belum sepakat terkait norma tentang power wheeling. Otomatiss RUU EBET tersebut tidak dapat disahkan oleh DPR RI Periode 2019-2024.
BACA JUGA:Tim PC-Prove Solid Warriors Berhasil Cegah Kerugian PT Pertamina EP Zona 7 Jatibarang Field
BACA JUGA:Rangkul Generasi Muda, Pertagas Gelar Pelatihan Pemandu Wisata di Indramayu
Selanjutnya, pembahasan RUU EBET akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah periode mendatang. Dengan pembatalan tersebut, pembahasan RUU EBET bisa semakin matang, terutama terkait norma power wheeling.
Bahkan sangat dimungkinkan untuk me- review pasal – pasal lain yang krusial. Mengingat pembahasan RUU EBET kemarin banyak yang diburu waktu.
Abrar mengungkapkan, pihaknya sangat sepakat dengan sikap dari Fraksi PKS tersebut, yang dengan tegas menolak power wheeling dalam RUU EBET, karena merupakan bentuk liberalisasi sektor kelistrikan serta tidak sesuai dengan konstitusi.
BACA JUGA:Bukan Sesar Garsela, Ada Sesar Belum Terpetakan Penyebab Gempa Bandung
BACA JUGA:Gelar CAIIC, UGJ Go Internasional
Pemerintah harusnya mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentngan segelintir pengusaha.
Bila ketentuan power wheeling disetujui maka pihak swasta diperbolehkan untuk memproduksi sekaligus menjual listrik kepada masyarakat secara langsung, bahkan dengan menyewa jaringan transmisi PLN.
Keadaan ini bisa melemahkan peran negara dalam penyediaan listrik bagi masyarakat. Dampaknya, harga listrik akan ditentukan oleh mekanisme pasar.
“Seperti yang disampaikan Pak Mulyanto, listrik merupakan kebutuhan penting dan strategis bagi masyarakat, sesuai konstitusi harus dikuasai oleh negara. Jangan karena ingin tampil di kancah global, kebutuhan domestik dan national interest kedodoran,” ungkap Abrar.
BACA JUGA:Bincang Bisnis UCIC Lebih Intimate Lewat Afternoon Tea
Abrar juga menegaskan, terkait soal power wheeling baiknya tidak perlu lagi dimasukkan dalam RUU EBET, karena memilki nilai mudarat yang lebih besar dibanding manfaat yang akan diperoleh negara dan masyarakat.
“Lebih besar mudaratnya dibanding manfaatnya bagi negara dan masyarakat. Jadi skema power wheeling baiknya tidak usah lagi dimasukkan dalam RUU EBET.”
“Seperti yang sering kita sampaikan, skema power wheeling ini juga sangat tidak Pancasilais karena bertentangan dengan norma hukum dan konstitusi.”
BACA JUGA:Apel Kebangsaan, Arak Bendera Merah Putih Sepanjang 1.500 Meter
“Negara justru berlaku tidak adil dengan lebih memihak swasta, memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmat keuntungan besar, namun pada saat yang sama menghisap rakyat untuk membayar energi listrik lebih mahal.”
“Padahal, sesuai konstitusi, kesempatan tersebut harus diberikan kepada BUMN, yang menurut konstitusi adalah pemegang hak monopoli,” tandas Abrar. (*)