MUNDU - Sudah satu tahun, ribuan hektare hamparan lahan garam di Kabupaten Cirebon tak bertuan. Pasalnya sepanjang tahun 2010 lalu terjadi musim penghujan, sehingga masyarakat pesisir pantai utara yang biasanya memproduksi berjuta-juta ton kristal garam kini mandul. Rastum, salahsatu warga Blok Kandawaru, Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu mengeluhkan hal itu. Sebelum tahun 2010, ia mampu mengumpulkan pundi-pundi uang dari hasil jerih payahnya mengolah lahan garam seluas 2 hektare yang terletak di dusun 2 Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura. Bahkan, uang dari hasil produksi garam tersebut digunakan untuk menambah unit usaha baru yang dipersembahkan putri keduanya yang bernama Wulan berupa toko kelontong yang terletak di pinggir pintu tol Kanci, Cirebon. Ketika memasuki tahun 2010, kondisi iklim di berbagai belahan dunia mengalami perubahan drastis. Ini juga memengaruhi iklim di Indonesia, terutama Cirebon. Biasanya memasuki bulan Juni atau Juli, curah hujan di sebagian wilayah di Indonesia mulai berkurang, karena akan memasuki musim kemarau. Tapi saat itu, hujan deras terus mengguyur. Bahkan bulan Agustus yang biasanya puncak dari musim kemarau, hujan masih terus turun. ”Kami pikir, kemarau akan datang pada bulan Agustus, untuk itu kami mulai menyiapkan lahan garapan. Tapi tak di sangka, air laut yang sudah mulai menampakkan kristal garam namun belum layak panen tiba-tiba menjadi air kembali setelah diguyur hujan semalam,” papar Rastum. Jutaan rupiah sudah ia gelontorkan untuk menggarap 2 hektare lahan sewaan yang ia bayar kepada pemilik lahan yang tak lain adalah mertuanya sendiri Rasjan selama dua tahun. “Untuk sewa tanah saya bayar ke mertua Rp2 juta selama dua tahun garapan. Kemudian, untuk membuat selender manual yang terbuat dari kayu randu, alat pengerok garam dan membeli hal-hal lain yang dipergunakan untuk penggarapan lahan sudah habis Rp2 juta, tapi hal itu sia-sia ketika hujan kembali mengguyur,” ungkap ayah 3 anak ini. Rastum tidak sendirian, ada ratusan warga dibloknya yang mengalami hal yang sama. Seperti halnya Maman Kasmanto. Ayah satu anak ini sudah empat tahun menggeluti produksi garam. Kebisaannya ini didapatnya secara turun temurun dari keluarganya. Lahannya berada di Blok Cipati, Desa Astanamukti, Kecamatan Pangenan. Lahan yang selama ini digarap masih merupakan lahan sewaan dengan luas 7.500 meter dan harus dibayar Rp900 ribu/tahun. Harga tersebut bisa berubah sewaktu-waktu, terbukti saat ini sewa lahan sudah mencapai Rp1,3 juta/tahun sedangkan harga garam tetap murah. Dari 7.500 meter lahan miliknya, Maman dapat menghasilkan 37 ton garam. “Itu jika kemarau panjang. Harga perkuintalnya Rp450 ribu, dan selalu mengalami penurunan. Saya jual hasil panen garam langsung kepada tengkulak,” paparnya. (jun/tta)
Rugi Jutaan Rupiah
Kamis 17-02-2011,07:37 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :