“Kita membutuhkan deregulasi total, full-blown deregulation. Saatnya Indonesia bersaing eye to eye dan neck to neck dengan Vietnam, yang kini menjadi outlier dalam menarik investasi global secara mengesankan,” tutur Wijayanto.
Ia juga menyoroti Country Complexity Index yang menunjukkan rendahnya kecanggihan produk ekspor Indonesia.
Sebagian besar ekspor unggulan Indonesia masih berupa komoditas primer seperti batu bara, CPO, tembaga, nikel, minyak, dan gas. Sekitar 40% nilai ekspor Indonesia berasal dari produk-produk ini.
Menurutnya, sistem ketergantungan global yang dibangun sejak Perang Dunia II kini mulai dirombak secara sepihak oleh AS.
BACA JUGA:Calon SPPG Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon Mulai Rekrut Relawan
Tatanan ekonomi internasional yang dahulu berpijak pada kerja sama dan trust kini digantikan oleh isolasionisme dan kompetisi.
Dampak langsung dari kebijakan Trump adalah kerusakan pada tatanan hubungan internasional yang selama ini menjadi landasan bagi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Indonesia kini menghadapi situasi darurat diplomasi akibat hilangnya prinsip win-win dalam hubungan antarnegara.
“Dalam kondisi ini, bahkan isu-isu strategis seperti pertahanan dan keamanan menjadi ajang perlombaan baru. Produk-produk strategis seperti drone, big data, dan luar angkasa kini dikuasai penuh dan tidak lagi dipertukarkan secara terbuka."
BACA JUGA:Akhirnya, Dedi Mulyadi Terbitkan Surat Edaran Tentang Study Tour, Silahkan Dibaca!
"Risiko pre-emptive strike pun meningkat, dan Indonesia harus mulai mewaspadai eskalasi senjata yang tidak terduga,” tambahnya.
Tak hanya itu, Dinna juga menyoroti kerapuhan demokrasi di tengah naiknya politik transaksional.
Isu-isu kemanusiaan seperti HAM, kesetaraan gender, disabilitas, dan lingkungan hidup terpinggirkan, seakan dapat dipisahkan dari agenda ekonomi dan politik. Padahal, martabat manusia adalah pilar utama dari stabilitas global.