GMNI Dalami “Penjualan” Ciremai

Kamis 24-04-2014,14:14 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

KUNINGAN – Isu ‘pejualan’ Gunung Ciremai yang masih merebak di masyarakat, khususnya warga lereng gunung disikapi para aktivis GMNI Kuningan. Bahkan organisasi mahasiswa tersebut menjadikannya sebagai bahan kajian yang mendalam. “Berdasarkan hasil analisis sosial yang ditemukan di lapangan dan dari beberapa sumber terkait, baik pihak SDAP, masyarakat setempat maupun pemberitaan media massa, kami melihat masuknya PT Chevron ke kota kuda ini bukan lagi sekedar isu belaka,” tandas Ketua GMNI Kuningan, Meli Puspita kepada Radar, kemarin (23/4). Kesimpulannya itu berdasarkan kepada beberapa poin. Pertama, kata dia, jalur transportasi yang kian ditata rapi sebagai akses untuk memudahkan perjalanan menuju lereng Gunung Ciremai. Kemudian, pada 14 Oktober 2004 silam, Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai melalui SK Menhut RI No 424/Menhut II/2004. “Dengan dijadikan taman nasional, diindikasikan sebagai pembebasan lahan dari warga sekitar alias penduduk lokal,” ujarnya. Selain itu, dilakukannya penelitian di Ciremai yang hasilnya terdapat potensi panas bumi pada tahun 2006 lalu. Pada 2007 lalu, Pemprov Jabar mengajukan eksplorasi panas bumi di Ciremai. Ini berdampak adanya lelang yang kemudian dimenangkan oleh PT Jasa Daya Chevron pada 2009. “Saat ini WKP (wilayah kerja pertambangan)-nya telah ditentukan tinggal menunggu IUP (izin usaha penambangan) saja,” sebutnya. Meli menyayangkan sikap abai pemerintah terhadap hak masyarakat setempat yang seharusnya diikutsertakan dalam setiap kebijakan yang akan diambil itu. Dikatakannya, masyarakat baru diinformasikan akhir tahun 2012 yang dinilai melanggar FPIC (Free, Prior, Informed dan Consent). Pihaknya memahami bahwa, diadakannya eksplorasi geothermal tersebut untuk memenuhi kurangnya pasokan listrik di Indonesia, khususnya Jawa-Bali dengan bahan dasar air. Diakui pula bahwa listrik sudah merupakan kebutuhan pokok, begitu juga dengan air. “Nah Bagaimana ketika eksplorasi itu dijalankan dan sumber air menjadi berkurang? Apa pemerintah dan Chevron bisa menjamin warga Kuningan tidak akan mengalami kekeringan? Sedangkan Ciremai tidak hanya mengairi Kuningan saja, tetapi beberapa daerah lain seperti Cirebon, Majalengka, Tasik, Ciamis, bahkan Berebes. Dan itu baru salah satu dari dampak negatif yang mungkin terjadi,” tandasnya. Menurut dia, isu Chevron sudah sangat meresahkan yang mengakibatkan warga berkali-kali turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Bahkan sampai rela berdemo ke Jakarta. Melihat hal demikian, seharusnya Pemda Kuningan segera tanggap jangan biarkan masyarakat hidup dalam keresahan. “Hal itu pula lah yang membuat kami kawan-kawan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) turun ke masyarakat dengan berusaha masuk menjadi baagian dari masyarakat dengan menyebarkan beberapa angket ke beberapa desa sekitar lereng Ciremai, seperti Cisantana, Pajambon, Ragawacana, Sukamukti, dan Gandasoli,” ucapnya. Berdasarkan data analisis angket yang disebar dan hasil wawancara dengan penduduk di sana, tambah Meli, mereka memang menolak adanya eksplorasi Gunung Ciremai. Banyak hal yang mereka khawatirkan termasuk turunnya hewan-hewan gunung seperti babi hutan dan kera ke pemukiman warga. “Isu yang ditemukan di masyarakat setempat masih simpang siur, mereka sampai ada yang mengisukan bahwa, mereka akan direlokasi ke pulau Sumatera. Hal ini menimbulkan dampak yang sangat besar seperti orang-orang lansia terbebani pikirannya lantaran memikirkan hal itu. Ada juga warga yang menjual tanahnya, bahkan sampai ada warga yang membatalkan niatnya membangun rumah karena takut direlokasi,” tuturnya. Melihat hal itu, dengan tegas Meli menyatakan, bahwa Pemkab Kuningan tidak sigap dalam menanggapi hal-hal kekinian. Dari analisis angketnya, masyarakat setempat 76 persen tidak tahu mengenai geothermal, manfaat dan dampaknya. Sedangkan yang mengaku tahu tentang hal itu hanya 24 persen saja. Tentu saja, lanjut Meli, kenyataan tersebut dikeluhkan setiap warga dan aparatur desa. Menurut dia, mereka tidak mendapatkan sosialisasi ataupun klarifikasi baik dari pihak pemerintah maupun Chevron. ”Selain itu pula kami melihat isu Chevron ini adanya indikasi untuk kepentingan pemilu semata. Kalau memang para wakil rakyat yang duduk di DPRD itu benar ikut mengkaji dan lebih memilih menyuarakan suara rakyat mungkin hal ini tidak akan terjadi, dan para wakil rakyat yang bersafari itu tegas menolaknya jauh-jauh hari sejak diadakannya pengajuan eksplorasi dari pihak pemprov atau bahkan pada saat adanya penelitian pada tahun 2006,” paparnya. Oleh karena itu, dia meminta agar Pemkab Kuningan serta Pemprov Jabar untuk segera tanggap dalam menyikapi keresahan masyarakat. Jangan sampai mengorbankan rakyat untuk kepentingan sendiri. Jika memang pemerintah benar-benar menginginkan adanya realisasi eksplorasi geothermal maka harus memberikan pemahaman yang jelas kepada warga. “Dan kami menuntut pemerintah untuk tidak mengabaikan lagi hak-hak masyarakat untuk selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan. Bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat,” pungkasnya. (ded)

Tags :
Kategori :

Terkait