MUENCHEN – Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita. Itulah judul esai akademik yang ditulis Carlo Ancelotti sebagai syarat kelulusannya dari Coverciano pada awal 1990-an. Filosofi sekaligus blueprint suksesnya sebagai pelatih. Ya, di masa depan, sepak bola menurut Carletto, sapaan Ancelotti, lebih dinamis. Kebetulan, dalam beberapa tahun terakhir sepak bola dinamis yang dinilai sebagai masa depan itu adalah yang mainkan Barcelona dengan tiki-taka-nya. Nah, sepak bola tiki-taka mendunia berkat kejeniusan Pep Guardiola dalam menyempurnakan taktik Barcelona yang dimainkan di era-era sebelumnya. Kini, Guardiola menyuntikkan tiki-taka ke Bayern Muenchen, klub raksasa Jerman. Selama ini, Jerman terkenal dengan gaya mainnya yang lugas dan bertenaga. Guardiola datang untuk memberikan kombinasi baru. Penguasaan bola dipadu dengan kecepatan dan ketangguhan. Kemudian, kapten Philipp Lahm yang semula bermain di bek kanan, bisa juga bek kiri, digeser ke gelandang. Lahm menjadi sentral dari guliran bola di lini tengah Bayern di era Guardiola. ”Lahm adalah pemain paling cerdas yang pernah saya latih. Dia berada di level berbeda,” puji Guardiola, seperti dikutip Goal. Masalahnya, pada first leg semifinal melawan Real Madrid (23/4), kinerja Lahm bisa diredam. Apabila, Lahm dkk kembali gagal mengatasi peredam serangan di lini tengah Real yang dihuni Xabi Alonso, Angel di Maria, dan Luka Modric, akan sulit mereka merebut kemenangan. Sejatinya, trio gelandang Real itu sedikit berbeda dari kebiasaanya Ancelotti. Ketiganya, memang indah untuk dilihat permainannya, tetapi kurang bertenaga. Selama ini, Ancelotti selalu memadukan keindahan dan kekuatan. Ketika mengandalkan Zinedine Zidane di Juventus, dia punya Edgar Davids yang bertenaga kuda. Kemudian, di AC Milan dia menjadikan Andrea Pirlo sebagai sentral permainan dan ada Gennaro Gattuso sebagai perusak permainan lawan. Bahkan, ketika di Paris Saint Germain, ketika dia mengandalkan Marco Verratti, sebagai penguat pertahanan ada Blaise Matuidi di lini tengah. Di Real, dia tidak memiliki gelandang bertenaga kuda. Tetapi, punya banyak stok gelandang lincah dan visioner. Tetapi ingat. Selama ini, Ancelotti dikenal sebagai pelatih yang piawai memaksimalkan talenta. Buktinya, Di Maria digeser dari winger menjadi gelandang. Atau sebelumnya di Milan, Pirlo dari gelandang serang menjadi deep-lying playmaker. Ancelotti juga fokus pada kekuatan teknis pada pemainnya. Selama ini, dia juga dinilai sebagai salah seorang pelatih yang berbahaya ketika bermain di Liga Champions. Hanya, lawannya adalah Guardiola yang juga jenius dan kaya taktik. Musim ini, kedua pelatih sama-sama punya tiga varian skema yang sering dipakai. Kalau Ancelotti seringkali memakai 4-3-3 dengan mengeksplorasi kemampuan dua winger-nya, Cristiano Ronaldo dan Gareth Bale, maka Guardiola paling sering memakai 4-1-4-1. Terkadang, Guardiola sengaja tidak memainkan Mario Mandzukic atau Claudio Pizarro yang merupakan striker murni. Dia memaksimalkan tenaga Thomas Mueller atau menjadikan Mario Goetze sebagai false nine alias striker palsu. Jadi, ini adalah bentrok dua pelatih jenius yang membawa sepak bola sebagai tontotan yang menyenangkan. (ham)
Siapa yang Lebih Jenius?
Selasa 29-04-2014,10:33 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :