Berhaji Lewat Darat

Rabu 07-09-2011,16:59 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban-Demak: Ziarah Wali (1) Terharu dan Kian Semangat di Sunan Ampel Wartawan Jawa Pos (Grup Radar Cirebon) Bahari yang berhaji lewat jalur darat memulai perjalanannya pada 5 Agustus lalu. Rute awalnya banyak dipakai untuk berziarah ke makam para wali. Berikut laporannya: Hari itu (5/8), pukul 03.55 WIB. Saya berangkat dari markas Jawa Pos (Grup Radar Cirebon) di Graha Pena. Rombongan redaksi yang mengantar saya ada tiga mobil, termasuk Pemimpin Redaksi, Leak Kustiya. Tak sampai 15 menit, kami sudah tiba di makam Sunan Ampel. Suasana di sekitar kompleks makam pagi buta itu cukup ramai. Para pedagang yang memadati gang dan lorong jalan menuju kompleks makam dan masjid tetap membuka kios yang menjual aneka pernik dan oleh-oleh khas. \"Di sini pedagang buka nonstop 24 jam,\" kata Subkhan, staf Masjid Sunan Ampel. Ratusan jamaah tampak sudah memenuhi masjid. Sebagian sedang membaca Alquran, sambil menunggu salat Subuh berjamaah. Sebagian lain terlihat tiduran di teras masjid. Begitu terdengar azan Subuh, beberapa pengurus masjid membangunkan para jamaah yang tidur-tiduran. \"Bangun... bangun sudah subuh,\" kata seorang pengurus takmir masjid, seraya menggoyang-goyangkan tubuh seorang jamaah yang ketiduran. Jamaah salat Subuh terdiri atas tujuh saf (tujuh baris). Seusai salat Subuh, saya dan teman-teman berziarah ke makam Sunan Ampel yang lokasinya dekat dengan masjid. Sudah ada ratusan peziarah di sana. Di antara para pendoa yang khusyuk itu, doa saya singkat: Ya Allah... berilah aku kekuatan untuk berhaji lewat jalur darat. Lapangkanlah jalanku menuju jalan yang Kau ridai dan Kau lindungi.... Bersihkanlah niatku, hanya karena Engkau ya Allah.... Suasana subuh yang indah. Ini bukan kali pertama saya berdoa di Masjid Ampel. Tapi, ziarah di saat subuh ini yang pertama. Pohon-pohon besar di sekeliling masjid ramai oleh kicau aneka burung. Mungkin karena tempat ini aman dari incaran senapan pemburu burung, akhirnya mereka nyaman hidup berkoloni di sana. Suara lantunan ayat-ayat suci Alquran berseling kicau burung-burung di rerimbunan dahan. Sambil menengadah, tak terasa air mata ini meleleh. Beranjak dari makam, satu per satu teman redaksi yang mengantar menyalami saya. \"Bismillah...,\" kata Pimred Leak Kustiya, sambil menepuk pundak saya. Dukungan kawan-kawan membuat dada saya terasa penuh. Dari Sunan Ampel saya menuju ke Gresik. Di kota pudak itu lokasi pertama yang saya kunjungi adalah makam Syekh Maulana Malik Ibrahim. Pukul 06.15 saya sudah tiba di sana. Suasana masih lengang. Belum ada keramaian para pedagang, seperti di makam Sunan Ampel. Baru ada dua peziarah yang berdoa di depan makam. Beberapa orang tampak tiduran di teras halaman, tak jauh dari makam. \"Kalau bulan puasa memang sepi. Apalagi pagi,\" ujar salah seorang peziarah. Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim yang biasa disebut kakek bantal \"karena kalau mengajar atau mengaji menggunakan alas bantal untuk menopang Alquran\" itu sangat sederhana. Di bawah cungkup hanya ada tiga makam. Selain makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, ada makam istrinya, Siti Aminah, dan kerabatnya, Syekh Maulana Macfur. Dari makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, saya menuju ke makam Sunan Giri. Lokasinya tak seberapa jauh dengan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, yakni di Desa Giri, Kebomas, masih Kota Gresik. Lokasi makam Mochamad Ainoel Jakin Kanjeng Soenan Giri seperti tertulis di pintu makam berada di ketinggian sebuah bukit. Dikelilingi pohon besar seperti beringin dan pohon besar lain berumur ratusan tahun. Suasana sekitar makam sangat teduh. Untuk menuju lokasi makam, pengunjung harus menapaki anak tangga berundak. Sedikitnya ada 75 anak tangga yang harus ditapaki pengujung. Di sisi kiri-kanan jalan berundak itu deretan kios berdiri. Sekitar 30 menit berada di lokasi makam, saya mencatat hanya ada lima sampai enam peziarah. Sepekan sebelum bulan puasa, peziarah membeludak, bahkan mencapai ribuan. \"Kami panen saat itu. Sehari pengojek bisa mengantongi Rp 150 ribu sampai Rp 500 ribu,\" kata pengojek yang sudah 10 tahun mangkal di tempat itu. \"Tapi, kalau seperti sekarang ini, seharian bisa tak membawa uang sepersen pun,\" tambahnya. Padahal, tukang ojek yang beroperasi di sekitar makam Sunan Giri ada 196 orang. Mereka berbagi tugas dalam sif malam dan siang. Namun, karena lokasi makam berada di bukit, ditambah jalan menanjak menuju lokasi makam, peziarah memilih naik ojek dari terminal. Apalagi, bus rombongan peziarah harus parkir jauh dari lokasi makam, sehingga peziarah memilih naik ojek. \"Ongkosnya juga tidak mahal. Sekali naik hanya Rp 4 ribu dari terminal menuju pelataran makam. Kalau sampai puncaknya, tambah lagi Rp 5 ribu,\" ujarnya. ** Berbuka di Jalur Kudus-Demak Wenehono teken marang wong wuto, wenehono pangan marang wong kang keluwen. Wenehono payung marang wong kang kaudanan lan wenehono sandang marang wong kang kawudan. Itulah kalimat yang tertera di makam Raden Qosim atau Sunan Drajat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Arti pesan Sunan Ampel itu: \"Berilah tongkat bagi orang buta, berilah makan bagi orang yang kelaparan, berilah payung bagi orang yang sedang kehujanan, serta berilah pakaian bagi orang yang telanjang?. Itulah salah satu ajaran Sunan Drajat yang sangat terkenal untuk para santri dan umat muslim setempat agar hidup tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat. Lokasi makam hanya seratusan meter dari jalan pantura Paciran. Jauh berbeda dengan suasana lima belas tahun lalu yang sangat sepi, kini seiring dibangunnya tempat rekreasi Wisata Bahari Lamongan (WBL) yang lokasinya tak jauh dari makam, daerah itu terus berkembang dan kian ramai. Saat ini deretan toko dan kios memenuhi sekitar areal pemakaman Sunan Drajat. \"Peziarah ramai sejak ada WBL,\" tutur Muratno, warga setempat. Kondisi makam Sunan Drajat cukup asri. Banyak pohon besar tumbuh subur di areal makam. Udara semilir, membuat peziarah betah berlama-lama di sini. Di sani juga ada bayang gambang berukuran sekitar 3 x 8 meter yang terbuat dari kayu jati cukup tebal. Barang peninggalan Sunan Drajat yang dibuat sekitar abad XVI itu masih tampak bagus meski ada yang lapuk dan bolong di sana-sini. Dari Lamongan saya menuju ke makam Sunan Bonang yang berada di pusat Kota Tuban. Tepatnya di belakang masjid agung di alun-alun kota. Lokasi makam Sunan Bonang sedang direnovasi. Di seputar cungkup tempat makam kini berdiri tiang besi pancang. Nanti bangunan baru itu akan menaungi makam. \"Diperkirakan, selama bulan puasa atapnya sudah terpasang,\" kata Masruri, salah satu juru kunci makam. Dari Sunan Bonang, saya menuju ke makam Sunan Muria atau dikenal Raden Umar Said. Lokasi makam ada di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Makam yang berada di puncak Gunung Muria itu terlihat indah dan tertata apik. Dari ketinggian sekitar 750 meter di atas permukaan laut itu terhampar pemandangan Kota Kudus dan Pati di nun jauh di sana. Tata letak bangunan tertata rapi, mengikuti kontur tanah hingga tampak artistik. Selain bersih, kompleks makam Sunan Muria dibangun dengan sentuhan modern berlantai mengilat dan bersih. Ukiran kayu jati hampir memenuhi sekitar makam. Ini biasa disebut griya atau rumah ukir. Di beberapa sudut makam tampak kamera CCTV. Tempat wudu pun resik dengan keramik mengilat. Tidak ada bau pesing seperti banyak dijumpai tempat wudu. Begitu keran dibuka, air mengalir deras. Air yang diambil dari sumber Gunung Muria itu sangat bersih. Itu karena hutan sekitar Gunung Muria masih terlihat lebat dengan udara cukup sejuk. Tak heran kini bermunculan vila di sekitar wilayah kompleks. \"Warga sekitar dilarang menebang pohon. Bercocok tanam harus di sela-sela pohon.\" ujar Heri, seorang pengojek lokal. Untuk mencapai lokasi makam, pengunjung dari timur atau arah Surabaya bisa melalui jalan pintas dari Pati yang berjarak sekitar 20 km. Kondisi jalan yang terus menanjak itu rusak parah dan penuh lubang. Tapi, kalau melalui Kota Kudus, jalannya lebih mulus. Sampai di Desa Colo pengunjung tidak harus naik anak tangga yang mencapai 500 lebih itu. Sebab, sudah ada ratusan tukang ojek yang siap melayani 24 jam. Mereka cukup piawai melintasi jalan sempit yang berkelok dan menanjak itu. Banyak peziarah memilih naik ojek karena jalannya cukup berbahaya. \"Tukang ojek dibagi sif siang dan malam,\" kata Heri, salah satu tukang ojek. \"Sekali naik, ongkosnya hanya Rp 7 ribu,\" tambahnya. Dari kompleks makam Sunan Muria, saya menuju ke makam Sunan Kudus di Kudus. Tak sampai 25 menit, saya tiba di lokasi. Sore itu suasana kompleks makam Kanjeng Sosohunan Koedoes Djakfar Sodik (nama Sunan Kudus seperti tertulis di depan makam) cukup ramai. Selain banyak jamaah menunggu buka puasa, ada kelompok yang menggelar pengajian di salah satu sudut kompleks makam. Arsitektur masjid di kompleks makam Sunan Kudus sangat khas. Mulai pagar sampai menara dibangun menggunakan tumpukan batu bata tanpa semen. Hanya seperti ditumpuk begitu saja, tapi cukup kukuh dan bisa bertahan hingga beratus-ratus tahun. Memang, ada sedikit bagian yang rusak dan sudah disemen. Tapi, umumnya masih terjaga baik. Bahkan, Menara Kudus masih berfungsi hingga sekarang. Sore itu, jam menunjukkan pukul 17.10. Waktu yang masih tersisa menjelang magrib itu saya manfaatkan untuk terus melanjutkan perjalanan ke Demak yang hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari Kudus. Di tengah perjalanan, saya berniat berhenti di warung atau depot untuk berbuka puasa. Tapi, sepanjang jalan Kudus-Demak tampak sepi. Jangankan menemukan rumah makan yang enak, untuk membeli minuman saja jarang ada toko. Akhirnya, begitu magrib tiba, saya berbuka puasa cukup dengan air putih dan sedikit roti yang dibeli di warung dalam perjalanan. Setelah mencari-cari tempat makan, akhirnya ketemu rumah makan. \"Wah... itu mungkin enak,\" kata saya dalam hati. Setelah masuk, oh, saya berbuka dengan nasi lauk ayam yang dimasak garang asem dibungkus daun pisang.

Tags :
Kategori :

Terkait