Pusat-pusat kuliner di kota ini terus bertumbuh. Dari fast food sampai makanan tradisional menjamur di mana-mana. Tapi, ikut naikkah penerimaan pajak restoran? Bagaimana dengan potensi yang ada? Sudahkan potensi ini juga tergarap maksimal? Faktanya, tahun 2010 saja, piutang pajak restoran mencapai Rp210 juta.
SELAIN soal piutang pajak yang cukup tinggi, potensi pendapatan asli daerah dari sektor pajak restoran diyakini masih belum dioptimalkan. Bahkan, DPRD mempertanyakan penetapan target dari sektor pajak daerah yang masih belum mencerminkan potensi sesungguhnya.
Anggota Komisi A, Cecep Suhardiman SH MH, mencontohkan keberadaan sejumlah rumah makan beromzet besar tetapi belum ditarik pajak. Rumah makan ini biasanya yang masih dikelola secara tradisional, sebab untuk fast food semuanya sudah taat pajak, dan pajak restoran dibayarkan selalu tepat waktu. “Kalau fast food kan sudah include di harga. Ketika kita beli makanan di situ, itu sudah termasuk pajak. Tapi kalau untuk rumah makan, masih banyak yang belum taat pajak,” ujarnya, saat ditemui di kantor DPRD.
Cecep melihat, kurang taatnya pengelola rumah makan membayar pajak, tidak sepenuhnya disebabkan faktor kelalaian. Tetapi juga disebabkan kurangnya sosialisasi dan pendampingan dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD). Sebab, akan terasa berat ketika langsung ditarik pajak. Namun, itu tidak akan terjadi jika ada pendampingan dan sosialisasi, para pengelola rumah makan pun akan lebih sadar untuk membayar pajak.
“Harusnya petugas-petugas di DPPKD melakukan asistensi. Petugas pajak memberikan panduan bagaimana melakukan pembukuan dan mekanisme pembayaran pajaknya,” katanya.
Politisi Partai Demokrat ini juga menyoroti piutang pajak restoran tahun 2010 yang mencapai Rp210 juta. Menurutnya, pajak terutang tersebut tidak jelas, khususnya mengenai tengat waktu pembayarannya, mekanisme sanksi dan kapan piutang tersebut akan terbayar.
Khusus mengenai kendala penarikan pajak dari rumah makan yang pengelolaannya masih tradisional, hal ini juga diakui Kepala DPPKD, Asep Dedi. “Untuk rumah makan tradisional ini memang masih memerlukan sosialisasi dan pemahaman,” ujar dia, saat ditemui wartawan koran ini di ruang kerjanya.
Bahkan warteg sekalipun, kata Asep, bila memungkinkan dan omzetnya besar bisa kena pajak. Sebab, kriterianya pada tempat usaha bukan pada omzet dari rumah makan tersebut. Ketika sudah menggunakan tempat usaha yang permanen, berarti sudah bisa ditarik pajak.
Terkait piutang pajak tahun 2010, Asep mengaku saat ini sudah dibayar oleh para wajib pajak. Dalam mekanisme penerapan sanksinya pun sebenarnya sudah jelas. Ketika 15 hari sejak jatuh tempo tidak dibayar juga, kena denda 2 persen dari nilai pajak. Hanya saja, diakui dirinya, mekanisme penagihannya masih pasif. Sebab, petugas tidak mendatangi wajib pajak.
Sedangkan untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak, Asep mengungkapkan, DPPKD memiliki petugas yang memantau potensi pajak, khususnya restoran di setiap ruas jalan. Sehingga, setiap tahunnya selalu ada penambahan wajib pajak baru, dan hal ini juga secara otomatis meningkat pendapatan asli daerah. “Setiap tahun pasti ada penambahan wajib pajak baru, selalu ada tambahan,” katanya.
Untuk pajak restoran, Asep mengakui, potensinya memang cukup tinggi. Sebab, bisnis ini sedang dalam tren positif, dan asalkan situasi kota kondusif, maka bisnis kuliner ini akan terus mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, untuk tahun ini saja perolehan pajak restoran ditargetkan Rp4,3 miliar dan saat ini sudah didapat Rp4,8 miliar. Sedangkan untuk tahun 2010 ditargetkan Rp3,8 miliar, tetapi pendapatan berhasil dioptimalkan sampai Rp5 miliar.
“Targetnya sudah sesuai potensi, tapi kita tetap maksimalkan dan tidak terpaku pada target saja. Sebab target hanya koridor dalam APBD saja dan dalam realisasinya tetap masih bisa dimaksimalkan,” bebernya.
Bahkan, menurut mantan staf ahli wali kota ini, dalam APBD perubahan 2011, target pajak restoran dinaikkan lagi sampai 30 persen. (yuda sanjaya)