Perlu Pengawasan IPAL

Kamis 23-10-2014,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Pencemaran limbah batu alam belakangan kian mengkhawtirkan. Air sungai yang berubah warna dan sawah yang mengalami pengerasan, membuat produksi pangan di sepanjang aliran sungai yang tercemar mengalami penurunan drastis. BADAN Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) pun merilis sejumlah sungai tercemar limbah batu alam dan terjadinya kerusakan ekosistem. Bahkan, tanah di beberapa lokasi termasuk sawah mengalami pengerasan karena adanya sedimentasi limbah halus batu alam. “Masalah ini perlu penanganan serius dan dilakukan secepat mungkin, sebelum pencemaran bertambah parah. Dari hari ke hari memang dampak pencemaran kian mengkhawtirkan,” ujar Kepala BLHD Kabupaten Cirebon, Dra Hj Ita Rohpitasari MSi, kepada Radar. Ita mengungkapkan, BLHD sangat berharap wacana relokasi yang kembali dilontarkan Bupati Drs H Sunjaya Purwadi Sastra MM MSi, dapat terealisasi. Apalagi, wacana relokasi tersebut sebetulnya sudah muncul sejak 2008. “Sampai sekarang belum bisa dilakukan karena terbentur masalah lahan,” ucapnya. Ita mengaku, sudah mengajukan anggaran ke pemerintah pusat untuk relokasi pengusaha batu alam. Sayang, anggaran ini ditolak dan hingga kini belum ada alokasi untuk keperluan ini. Tak hanya itu, pencarian lahan untuk relokasi pengusaha batu alam juga sulit dilakukan. BLHD memang pernah memunculkan gagasan menggunakan tanah desa, tapi pemerintah provinsi dan pusat menolak. Alsannya, tanah desa hanya boleh digunakan untuk kepentingan umum, bukan pribadi. “Hampir kebanyakan, pengusaha batu alam itu menggunakan lahan pribadi. Jadi wajar pengajuan relokasi itu di tolak oleh provinsi dan pusat,” katanya. Pihaknya tidak dapat berbuat banyak untuk melangkah lebih jauh. Sebetulnya, pemda mempunyai tanah, tapi rata-rata lokasinya jauh dari bahan baku dan lokasi tempat pengusaha batu alam itu berdiri. “Ada tanah di Kapetakan, tapi apakah mereka (pengusaha) mau pindah kesana? Mereka tentu akan menolak karena lokasi usaha jauh dari bahan baku batu alam,” terangnya. Sembari menanti relokasi terwujud, Ita berharap, para pengusaha batu alam menyadari pentingnya pelestarian lingkungan. Setidaknya, para pengusaha harus membuat instalasi pembuangan air limbah (IPAL). Dengan adanya IPAL, diharapkan air limbah yang masuk ke sungai sudah dalam ambang batas normal. Untuk menggugah kesadaran ini, Ita mengatakan, BLHD berulang kali melakukan pembinaan. Berkat pembinaan yang intens, ratusan pengusaha kerajinan batu alam yang tersebar di wilayah Kecamatan Dukupuntang, Palimanan dan wilayah di sekitarnya, sepakat menandatangani pernyataan untuk segera membuat IPAL. “Upaya ini dalam rangka mewujudkan tata kelola lingkungan yang bersih, sehat dan berdampak ekonomis tinggi,” tuturnya. IPAL ini berupa bak penampungan air limbah yang berjumlah minimal tiga bak. Keberadaan bak ini untuk penampungan dan menyaring air limbah agar tidak keruh. Sehingga ketika dibuang ke sungai air limbah tersebut sudah jernih. “Ini bisa mengurangi pencemaran sungai,” imbuhnya. Ita menerangkan, dampak dari pencemaran sudah terlihat yakni, ekosistem sungai sudah hilang, sedimentasi sungai yang cukup parah, pengerasan tanah-tanah sawah produktif dan air sungai tidak bisa digunakan untuk menunjang kegiatan sehari-hari warga karena sudah keruh. Limbah batu alam dampaknya sangat luar biasa dan berbahaya bagi masyarakat. “Program kita sudah dikontrol oleh BLHD dan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Jawa Barat. Mudah-mudahan ini bisa membantu masyarakat dalam mendapatkan haknya akan lingkungan yang bersih,” terangnya. Bahkan, kata Ita, pihaknya sudah menurunkan konsultan dari Bandung untuk membantu pengusaha batu alam membuat IPAL. Kendati demikian, belum semua pelaku industri batu alam di Kabupaten Cirebon tersentuh. Menjanjikannya bisnis ini, membuat pelaku industri batu alam terus bertambah. Data terakhir mencapai 433 pengusaha, tetapi diprediksi data ini membengkak karena pertumbuhan tidak bisa terbendung. “Jumlahnya setiap tahun mengalami peningkatan,” ucapnya. Salah seorang pengusaha batu alam di Desa Bobos Kecamatan Dukupuntang, Maman (45) mengaku, telah membangun delapan kolam IPAL dengan panjang 24 meter dengan kedalaman lima meter. Kolam ini memiliki lebar tiga meter. “Alhamdulillah sekarang saya lebih lega setelah membangun IPAL, karena beban mencemari lingkungan sekarang sudah terangkat. Air yang saya buang ke sungai sudah jernih,” tandasnya. Sayangnya, pembuatan kolam IPAL ternyata tidak menyelesaikan masalah limbah. Dari hasil penyaringan limbah batu alam, ternyata ada limbah padat yang mengendap. Setiap kali kolam IPAL dikuras, limbah padat ini menumpuk. “Saya kira ini harus dipikirkan kembali. Bagaimana memanfaatkan limbah padatnya? Kita kan tiap hari berproduksi,” ucapnya. Hal senada diungkapkan pengusaha batu alam di Desa Cikalahang, Muslim (34). Menurut dia, IPAL yang dibangun dirinya ternyata tidak cukup menampung limbah produksi. Sebab, kapasitas produksi terus mengalami peningkatan seiring permintaan yang kian banyak. Tak hanya itu, IPAL yang dibangunnya menampung limbah dari sepuluh pabrik. Sekarang ini dirinya mulai kebingungan dengan limbah padat yang makin lama tumpukannya menggunung. “Dalam satu bulan pasti penuh karena 10 pabrik di buang ke sini semua,” katanya. Muslim berharap, pemkab bisa memberikan solusi untuk mengolah limbah padat tersebut. Sehingga para pengusaha tidak kebingunan lagi. Hal senada pun diungkapkan Wakil Ketua Paguyuban Batu Alam Desa Cikalahang, Supanji berharap pemerintah bersama-sama mencari solusi pemanfaatan limbah padat, sebelum upaya relokasi ditempuh. Sebab, relokasi hanya akan memindahkan pencemaran ke lokasi lain, bila masalah limbah tidak serius untuk dipecahkan. “Masalah limbah harus menjadi perhatian. Dimanapun membangun industri batu alam, pasti akan menimbulkan pencemaran entah sekecil apapun. Kalau tidak memikirkan bagaimana mengolah limbahnya, relokasi pun akan percuma,” bebernya. Di lain pihak, masalah pencemaran batu alam ternyata sama peliknya dengan aspek perizinan. Berdasarkan data Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Cirebon, ternyata baru 35 pengusaha batu alam yang memiliki izin usaha. Jumlah ini tentu sangat memprihatinkan, karena menurut BLHD ada 433 pengusaha batu alam dan jumlah ini terus bertahan. Kepala BPPT Abdul Mutholib melalui Kepala Bidang Adminitrasi Perizinan Dede Sudiono menyatakan, dari 35 aktivitas batu alam yang tercatat dalam perizinan, hanya enam yang berasal dari industri dan sisanya izin perdagangan. Yang lebih miris, dari enam industri berizin ternyata hanya satu yang masih berlaku. Lima pengusaha industri baru alam lainnya, belum melakukan daftar ulang. Padahal daftar ulang izin gangguan itu wajib dilakukan tiap tiga tahun sekali. Sedangkan daftar ulang atau registrasi surat izin usaha perdagangan (SIUP) dan tanda daftar perusahaan (TDP) itu lima tahun sekali. “Hanya satu yang izinnya masih berlaku, sementara sisanya tidak. Ini sangat ironis karena usaha batu alam memiliki nilai ekonomis tinggi. Tetapi, kontribusi untuk pemerintah nyaris tidak ada,” ujar. Diungkapkannya, pengusaha yang masih memiliki izin yakni Siti Rihana dari Desa Balad Kecamatan Dukupuntang. Dia tercatat mengajukan permohonan izin pada Januari 2010 kemudian diperbaharui pada Oktober 2013. Luas areal industri batu alam milik Siti mencapai 200 meter persegi. Dede mengatakan sebenarnya pengusaha yang mengajukan izin telah ada sejak 2001 kemudian sempat diperbaharui sebelum akhirnya diabaikan. Menurutnya banyaknya industri yang tidak berizin akibat tidak ada kesadaran dari pengusaha. Sejauh ini pengurusan izin hanya dilakukan untuk mengurus proses permodalan. “Untuk mencari modal dari pihak ketiga biasanya syaratnya usaha harus berizin. Di situ pengusaha membuat izin. Tapi setelah modal ada, utang ke pihak ketiga sudah lunas, izin ditinggalkan,” sesalnya. Dia mengatakan BPPT tidak pernah memberikan kesulitan dalam pengurusan izin. Asalkan syarat yang dibutuhkan dilengkapi. Misalnya ada dokumen lingkungan dari BLHD, dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) mengenai bangunan, rekomendasi analisa dampak lingkungan (amda) lalu lintas dari dinas perhubungan dan polres, serta kaitan dari industri ke dinas perdagangan. “Sekarang semuanya sudah satu pintu. Jadi sebenarnya tidak ada alasan mengelak dari perizinan atau menyalahkan pada birokrasi yang rumit. Ini semata-mata ketidaksadaran pengusaha saja,” katanya. Di tempat terpisah, Kepala Bidang Penggalian, Tata Sunirta juga mengungkapkan pengakuan mengejutkan. Lantaran nyaris tidak adanya pengusaha yang berizin, usaha batu alam ternyata tidak memberi sepeserpun pendapatan asli daerah (PAD). “Industri batu alam tidak ada kontribusinya untuk pemerintah daerah. Lah iya emang tidak ada, karena tidak ada potensi pajaknya. Kalau Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Mineral (PSDAP) dan Bina Marga mungkin ada karena ada retribusinya, karena berkaitan dengan saluran sungai dan jalan,” kata Tata. Persoalan ini, tidak berkaitan dengan dispenda hal itu sudah ditelusuri ke setiap UPT ternyata memang tidak ada potensi yang digali, ada juga iuran yang dipungut oleh desa. “Artinya hanya untuk desa saja,” tukasnya. Sementara itu limbah yang mencemari sungai membuat warga Desa Warujaya Kecamatan Depok menderita gatal-gatal. Limbah tersebut merusak sungai yang menjadi sumber mata air warga. Badrun (25) mengaku, sudah sejak lama menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Mulai dari mencuci pakaian sampai mandi. Namun setelah maraknya industri batu alam membuat sungai tidak bisa digunakan. Dalam sebulan terakhir, kata Badrun, dirinya dan warga sekitar terpaksa kembali menggunakan air sungai. Kemarau yang berkepanjangan membuat mereka tidak memiliki pilihan. “Ya susah mau nyari kemana airnya. Sumur saja kering,” kata dia. Hal senada pun diungkapkan warga lainnya, Dewi (18). Dia mengaku, sering gatal-gatal setelah mandi di sungai. “Kami terpaksa mandi di sungai tercemar. Kalau tidak pakai air sungai, terus pakai apa?” tanya dia. Di tempat terpisah, Kepala Bagian Sumber Daya Alam (SDA) Sekretariat Daerah, Sucipto mengungkapkan, tengah melakukan penjajakan dengan pengusaha terkait relokasi aktivitas batu alam. Sebelumnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah memberikan bantuan, akan tetapi tidak ada kesiapan lahan untuk relokasi. Namun begitu dalam penjajakan tersebut relokasi bisa diserahkan pada pengusaha. “Kami masih penjajakan. Mudah-mudahan, dalam bulan ini sudah ada MoU dengan investor. Kalau lokasi, nanti gimana investor saja inginnya dimana,” tukasnya. (samsul huda)

Tags :
Kategori :

Terkait