JAKARTA - Semua personel Detasemen Khusus 88 Mabes Polri sedang berada dalam level siaga merah atau puncak kewaspadaan. Sebab, dari hasil investigasi, masih ada tujuh bom rakitan serupa dengan bom Solo yang siap meledak. Posisi bom-bom pembunuh itu belum bisa dideteksi secara pasti.
“Dari pengakuan tersangka yang terkait dengan bom Cirebon masih ada tujuh rakitan bom yang belum ditemukan,” ujar Kadivhumas Polri Irjen Anton Bachrul Alam saat jumpa pers di kantornya kemarin (27/9). Bom itu dirakit oleh kelompok Mochammad Syarif dan juga Ahmad Yosepa Hayat yang meledakkan diri di GBIS Kepunton Solo Minggu (25/9) lalu.
Bom rakitan itu berciri ringan (tak lebih dari 3 kg), mudah dipindahkan, dan bisa dioperasikan secara sederhana. ”Ini masih kita cari, biarkan tim bekerja,” kata Anton. Tujuh bom itu diduga disembunyikan atau digunakan sebagai sarana melawan pengejaran aparat.
Ahmad Yosepa Hayat yang meledakkan diri di Solo diduga merakit sendiri bomnya. Jadi, bukan termasuk tujuh yang masih belum ditemukan. ”Dalam tasnya masih kita temukan sisa paku, sisa gotri, sisa kabel, dan baterai Alkaline 9 volt yang digunakan sebagai pemicu arus,” kata mantan Kapolda Jatim itu.
Setelah Syarif meledakkan diri, Densus 88 langsung menyapu tempat-tempat persembunyiannya. Hasilnya, mereka mendapatkan tujuh bom serupa siap ledak. ”Dari pengakuan Musola, salah seorang tersangka bom Cirebon mereka sudah merakit 15 buah,” katanya.
Densus menduga sebagian dari tujuh bom ini dibawa oleh Nanang alias Ndut yang juga masuk DPO. ”Dia ini istilahnya perwira logistiknya jaringan,” katanya. Merakit bom ala Hayat juga sebenarnya simpel. “Kalau sudah belajar, satu jam juga siap dipakai,” tambahnya.
Mungkinkah tujuh bom itu digunakan lagi? Perwira muda ini menilai sangat mungkin. Apalagi, saat ini kelompok ini benar-benar terdesak. ”Kita berkejaran dengan waktu. Cepat-cepatan lah istilahnya,” katanya. Saat ini, sebagian tim pemburu Korps Burung Hantu Densus 88 bergerak ke perbatasan Ngawi-Madiun. ”Itu sekarang ya (kemarin, red) jadi setelah kamu tulis, kita pasti sudah geser,” katanya.
Sebagian yang lain bergerak ke Semarang. ”Selain empat DPO lama, ada tiga DPO baru inisialnya W, H dan B, inisial dulu saja karena nanti teman-temannya baca koran dan monitor,” kata alumni Special Course for Antiterrorism Investigation di Manila ini.
Bahkan, Yadi Al Hasan, salah satu teroris yang masuk DPO (Daftar pencarian Orang), sempat terlihat jejaknya di Klayan Desa Adidarma, Kecamatan Gunungjati Kabupaten Cirebon, seminggu sebelum bom Solo. “Seminggu sebelum kejadian bom bunuh diri di Solo, Yadi terlihat jejaknya di Cirebon tepatnya di daerah Klayan Kecamatan Gunungjati Kabupaten Cirebon,” jelas anggota Densus 88 yang tidak mau disebutkan namanya kepada Radar, Selasa (27/9).
Tetapi, menurut anggota Densus tersebut, Yadi tidak berlama-lama di Cirebon, bahkan hanya beberapa jam. Yadi hanya menemui istrinya, itu pun tidak di rumah, melainkan bertemu di luar rumah, tapi masih di kawasan Klayan. “Dia datang beberapa jam saja hanya untuk bertemu istrinya,” katanya.
Saat jumpa pers kemarin Kadivhumas Irjen Anton Bachrul Alam juga menyebut adanya kemungkinan pelaku dibantu oleh pihak lain di luar DPO. ”Tentu seperti ini berkelompok, tidak mungkin sendirian,” kata jenderal dua bintang ini.
Secara terang-terangan Anton juga menyebut Hayat pernah menjadi anggota Jamaah Ansharut Tauhid Cirebon. ”Dia juga DPO dalam kasus perusakan swalayan Alfamart,” katanya.
Sesaat setelah Anton mengucapkan itu, anak Abu Bakar Baasyir Abdul Rachim Baasyir langsung mengirimkan sms pada Jawa Pos (Grup Radar Cirebon) yang menyebut Anton telah melakukan fitnah. ”Selalu begini, kelemahan Polri ditutupi dengan melempar kesalahan pada JAT. Padahal secara keanggotaan dia tidak tercatat. Kami akan pertimbangkan menuntut Polri ,” ujarnya.
Identitas Hayat memang langsung diketahui dua jam setelah peristiwa peledakan setelah dikonfirmasi pada teman-temannya sesama jaringan Cirebon. Sumber Radar Cirebon pada 25 September 2011 pukul 18.00 juga memastikan pelaku adalah Hayat (Radar Cirebon 26/9/2011 halaman 1).
Kepala Pusat Kedokteran Kesehatan Polri Brigjen Musadeq Ishaq kemarin menuturkan, pemeriksaan DNA mengkonfirmasi 100 persen bahwa pelaku adalah Hayat.
”Bahwa tidak terbantahkan jenazah pelaku di gereja GBIS Kepunton, Solo, Jateng adalah Ahmad Urip -- karena dia sakit-sakitan jadi dibuat Urip, alias Ahmad Yosefa alias Hayat,” katanya. Hayat dilahirkan di Losari, Cirebon pada 18 Oktober 1980.
Musadeq menjelaskan, identitas Hayat terungkap dari proses identifikasi jenazah. ”Kami temukan seorang laki-laki, berumur 25-35 tahun, berkulit sawo matang. Kemudian kita cari data-data fisik medis sesuai data yang dikumpulkan penyidik, ada bekas operasi hernia, ada penebalan, penebalan kulit di pergelangan kaki bagian luar,” katanya.
Selain itu, juga dilakukan pencocokan foto, saat pelaku masih hidup dan setelah meninggal dunia. ”Kecocokan signifikan, kami nyatakan match atau cocok,” kata dia. Musadeq menambahkan, identifikasi juga diperkuat data primer berupa sidik jari yang cocok dengan data sidik jari Ahmad Yosepa yang tersimpan di Kepolisian. ”Saat yang bersangkutan membuat SIM pada tahun 2005,” katanya.
Yang terakhir, untuk lebih meyakinkan, polisi melakukan pemeriksaan DNA. ”Dengan DNA pembanding dari keluarga yang bersangkutan. Ibu dan seorang anaknya yang berusia 4 tahun,” katanya.
Jenazah Hayat langsung dimakamkan kemarin sore di TPU Pondok Rangon Jakarta Timur bersebelahan dengan makam Moch Syarif bomber Cirebon. Tidak ada kerabat yang mengantar. Keluarga Hayat berada di dalam mobil dan menolak berkomentar.
Nurlan, pengacara keluarga meminta maaf pada masyarakat atas tindakan Hayat. ”Dia sebenarnya juga korban pergaulan yang salah. Keluarga sangat terpukul dan meminta maaf,” katanya. (jpnn/ugi)