K3 Tak Diterapkan, Aturan Dilanggar

Jumat 05-12-2014,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Meski aktivitas pertambangan batu di Gunung Kuda, Desa Bobos, Kecamatan Dukuputang sudah sering mendapat teguran dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pertambangan (DPSDAP) Kabupaten Cirebon, para pengusaha sepertinya tidak menghiraukan teguran tersebut. Pelanggaran terus terjadi dan dampak kerusakan lingkungan mulai terasa. PARA pekerja di Gunung Kuda ibarat sedang menggali kuburnya sendiri. Meski selama ini tidak pernah terjadi kecelakaan kerja maupun longor akibat pertambangan, namun para pengusa­ha mengakui tak menerapkan standar kesehatan dan kese­lamatan kerja (K3). Mereka juga tak menerapkan standar eksplorasi areal tambang. Aktivitas pertambangan yang terjadi selama ini terhitung masih tradisional. Dewan Pembina Yayasan Al Ajhariyah yang juga pengusaha galian di Desa Bobos, H Bahri menga­kui, sudah beberapa kali men­dapat teguran dari dinas terkait dalam melakukan penge­rukan batu di Gunung Kuda. Dia menyadari, ekpolitasi pertambangan tersebut harus menggunaka sistem terasering untuk menjaga keselamatan para pekerja dan masyarakat di sekitar areal tambang. Namun, dia beralasan, sistem terasering lebih berisiko menimbulkan kecelakaan. Bukan tidak mungkin, alat berat yang digunakan malah jatuh dan menimbulkan korban jiwa. “Hasil dari pertambangan ini bukan hanya dirasakan untuk para pekerja dan pribadi, tapi untuk membangun yayasan pendidikan mulai dari TK, sampai perguruan tinggi. Artinya harus dilihat manfaatnya. Apalagi ini membantu program pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan,” kata Bahri, yang pernah menjabat sebagai ketua Yayasan Al-Islah Sebagai pengusaha tambang, Bahri mengaku, sudah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) yang didapat dari dinas terkait selama lima tahun. Ketika sudah habis lima tahun, baru izin tersebut diperbaharui kembali. Selama ini, tidak ada masalah dalam perpanjangan IUP. Artinya, pengelolaan tambang batu alam di Gunung Kuda direstui pemerintah. Apalagi, harus diakui potensi batu alam di Gunung Kuda memang sangat besar. Biasanya hasil galian tersebut dibeli oleh Indocement dan pabrik keramik yang ada di Kabupaten Indramayu dan untuk urugan lokal. “Satu truk dihargai Rp60 ribu, sedangkan aktivitas mobil yang mengangkut sendiri lebih dari 100 kendaraan per hari,” tuturnya. Kembali ke masalah keselamatan, Bahri mengakui, di tambang yang dikelolanya tidak diterapkan standar K3. Tapi dia menjamin ,tingkat kewaspadaan dari para pekerja termasuk tinggi. Lagi pula, selama ini di lokasi galian ini belum pernah terjadi kecelakaan kerja. “Yang jelas ketika ada kecelakaan, kami akan membantu. Keselamatan para pekerja sudah tidak menghiraukan, karena prinsip mereka daripada nganggur mending kerja. Mereka diberi upah minimal Rp50-Rp100 ribu per hari,” katanya. Bahri mengungkapkan, di arel tambang Gunung Kuda, pekerja lebih memilih menggunakan prinsip kebiasaan. Meski alat-alat keselamatan dan pengaman sudah disediakan, para pekerja enggan memakainya karena sudah terbiasa bekerja dengan cara tradisional. “Yang kita gunakan adalah kebiasaan bukan ke aturan,” ucapnya. Pemerhati Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Cirebon, Priatmo Adji mengatakan, areal pertambangan Gunung Kuda sangat berbahaya, karena dalam melakukan ekpoloitasi ada aturan yang mengatur seperti membuat terasering, itu pun paling tinggi enam meter. “Kalau saya lihat di daerah Desa Bobos Kecamatan Dukupun­tang dan Argasunya Kota Cirebon, ketinggian mela­kukan galian lebih dari 25 meter. Jadi kalau saya baca di koran tiba-tiba ada orang yang ter­kena longsor di galian, bagi saya tidak heran karena tidak ada teraseringnya,” ujar Priatmo,. Dikatakannya, setelah dilakukan galian apalagi saat musim hujan seperti ini, secara otomatis serpihan batu ataupun tanah akan terbawa air hujan yang kemudian dilarikan ke sungai. Kalau sudah masuk sungai, tentunya membuat sungai menjadi dangkal. Harusnya, saat melakukan ekpolitasi pertambangan di bagian bawahnya harus ada parit yang kemudian disalurkan ke satu kolam besar supaya mengendap, setelah itu baru dialirkan ke sungai. “Kalau di Indocement kolam pengendapan itu sampai tiga, sehingga sebelum air keluar ke sungai ada kolam yang dikasih ikan. Kalau ikan itu mati, berarti kolam itu beracun,” jelas pensiunan PT Indocement Tunggal Prakarsa ini. Priatmo tak heran bila melihat sungai-sungai di wilayah Bobos dan sekitarnya tercemar endapan batuan. Sebab, areal pertambangan dan para perajin batu alam kebanyakan tidak menggunakan kolam pengendapan. Dia menjelaskan, untuk teknis pertambangan itu memang seharusnya dari atas dengan membuat terasering terlebih dahulu untuk lalu lintas truk. Dari ataslah baru dilakukan penggalian, dipangkas terus hingga turun ke bawah. “Mangkasnya itu maksimum enam meter untuk dibuat terasering. Kalau penggalian dari bawah, apapun teorinya itu pasti salah. Apalagi sampai membuat galian menjadi cekungan seperti gua. Lah itu sama saja membuat kuburan sendiri,” terangnya. Menurutnya, aktivitas yang mereka lakukan tanpa terasering karena ingin biaya murah. Sebab, itulah konsep para pengusaha. Kalau ingin membuat jalan terasering menuju atas bukit, tentunya akan mengeluarkan biaya dulu, bahkan biaya tergolong mahal. “Mereka tentu tidak mau, orang belum menghasilkan malah sudah keluar duit. Tapi, ketika aktivitas itu dilakukan dari bawah, mereka langsung dapat duit. Mereka tidak memikirkan apa yang mereka lakukan akan membuat longsor dan membahayakan pekerja,” tegasnya. Di lain pihak, teguran dari DPSDAP terhadap para pengusaha tambang di Gunung Kuda, ternyata sudah diikuti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kepala Bidang Penegakkan Perda Satpol PP, H Sisyanto mengungkapkan, teguran pertama sudah dilayangkan. Untuk sementara, Satpol PP menunggu tindak lanjut dari para pengusaha merespons teguran itu. “Kita terima surat dari DPSDAP mengenai adanya pelanggaran dan perusakan alam dalam penambangan batu di Gunung Kuda. Maka dari itu karena ada surat dari DPSDAP kita langsung berikan surat teguran yang pertama kepada para pengusaha,” katanya. Pihaknya akan melayangkan surat teguran hingga tiga kali. Teguran kedua dan ketiga akan dilayangkan kalau pengusaha masih membandel. Bila sampai teguran terakhir masih tidak dihiraukan, areal pertambangan akan disegel Satpol PP. “Teguran pertama sampai ketiga ini berjarak enam hari kerja. Hari libur tidak dihitung,” ujar Sisyanto. Apakah Satpol PP berani menyegel? Sisyanto menjamin, pihaknya tidak akan pandang bulu kepada siapapun pelaku usaha yang merusak lingkungan. Selama ada rekomendasi dari DPSDAP dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Satpol PP akan merespons dengan tindakan yang diperlukan. “Kami tidak akan pandang bulu,” tegasnya. Berbeda dengan Satpol PP, DPSDAP ternyata sudah melayangkan surat teguran hingga tiga kali. Pasalnya, pengelolaan tambang di Gunung Kuda tak menerapkan standar keamanan dan keselamatan kerja. Hanya saja, DPSDAP tidak punya kewenangan menindak lantaran itu merupakan tupoksi Satpol PP. Kepala Seksi Pengelolaan Pertambangan DPSDAP, Suyatno mengatakan, teguran kepada pengusaha disampaikan karena fondasi Gunung Kuda mulai rapuh. Ini disebabkan aktivitas tambang yang dilakukan dari bagian bawah. “Kondisi tersebut praktis menimbulkan ancaman longsor, apalagi saat ini memasuki musim penghujan,” tuturnya. Dari hasil inspeksi mendadak, pihaknya menyimpulkan, penambangan ini tidak sesuai kaidah. Lokasi di sekitar Gunung Kuda akan sangat berbahaya apabila terjadi hujan deras. Bola fondasi tidak kompak dan lepas, Gunung Kuda akan longsor. “Yang ditakutkan ada korban jiwa, kemudian kecelakaan tambang,” tandasnya. Suyatno menambahkan, hamparan batu alam Gunung Kuda ini dikelola oleh empat perusahaan dengan luasan tambang berbeda. Perusahaan Al Ishlah mengelola sekitar lima hek­tare, Satori dua hektare, Al Jari­ah lima hektare dan Bumi Karya lima hektare.Empat peru­s­a­haan ini menyalahi atu­ran dan bahkan telah diberi­­kan surat teguran dua kali. Na­mun mereka tetap tidak ada perubahan. (samsul huda/den)

Tags :
Kategori :

Terkait