Bupati dan DPRD Terancam Sanksi Administrasi SUMBER– Tuntutan Forum Komunikasi Kuwu Cirebon (FKKC) yang meminta masa jabatannya ditambah dari enam menjadi delapan tahun, bakal sulit terealisasi. Meski perda tentang pemerintah desa dan BPD disahkan DPRD, dikhawatirkan akan ditolak gubernur. “Yang namanya perda itu kan harus di ketahui oleh gubernur dan kemendagri (kementerian dalam negeri). Ketika tidak sesuai dengan UU, perdanya akan ditolak,” ujar Kepala Bagian Hukum Setda, Uus Haryadi SH MH, kepada Radar, Selasa (16/12). Dikatakannya, kalau produk tersebut tetap dipaksakan, tunjangan anggota DPRD dan bupati selama tiga bulan tidak bisa diberikan, karena terkena sanksi administrasi. “Ini sudah menjadi aturan dan ketetapan UU 23/2014,” terangnya. Di tempat terpisah, FKKC dan Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa (ABPD) terus silang pendapat. Ketua ABPD, H Diding Karyadi SH MH menilai, FKKC tidak berhak memonopoli legislatif dan eksekutif. Aduan ABPD ke DPRD bukan karena ada intervensi atau berupaya menandingi FKKC dalam menyampaikan pandangannya terkait persoalan ini. “Aspirasi yang disampaikan itu bukan karena keinginan dari masyarakat Kabupaten Cirebon. Itu keinginan para kuwu sendiri. Keinginan perpanjangan masa jabtan ini terus terang saja menimbulkan suara miring terhadap FKKC, lantaran meminta jabatan dari enam tahun menjadi delapan tahun,” bebernya. ABPD, kata Diding, bersikap tegas akan menolak perpanjangan masa jabatan kuwu. ABPD menilai, apa yang sudah dirumuskan di dalam UU 6/2014 maupun Peraturan Pemerintah 43/2014 tentang desa, sudah merupakan formulasi yang baik. UU tersebut sudah mempertimbangkan unsur yurudis, sosilogis dan filosofis. Artinya, UU yang telah dibuat sudah sesuai dengan demokratisasi desa. Masa jabatan kuwu itu efektif berjalan selama enam tahun saja. Kalau diperpanjang, justru kalau diperpanjang justru menafikan semangat demokratisasi desa itu sendiri. Jabtan kuwu yang mencapai satu windu juga akan membuat fungsi kontrol lebih sulit. Sebab, semakin kekusaan itu absolute justru kencenderungan korup sangat tinggui. “Kalau raparda tentang pemerintah desa dan BPD itu disahkan, kita juga siap untuk mengajukan revisi terhadap perda tersebut. Bahkan sebelum diundangkan kita akan mengajukan nota keberatan kepada gubernur dan mendagri. Artinya, dalam fase konsultasi kita akan memberikan masukan,” jelasnya. Dalam hal ini, sambung Didin, ABPD posisinya berupaya menegakkan semgat otonomi daerah yang tidak kebablasan. Meski ada otonomi baik itu pemerintah provinsi, kabupaten/kota hingga tingkatan desa, semua harus dalam lingkup NKRI. Sehingga, tidak bisa perundang-undangan berlaku hanya di satu daerah dan berbada di daerah lain. “Kalau menerapkan hal yang seperti ini, sama saja membangun negara di dalam negara. Itu menyalahi hukum kita. Bila raperda ini disahkan, sama saja hukum yang lebih tinggi dikalahkan yang lebih rendah,” pungkasnya. (sam)
Keinginan Kuwu Sulit Terealisasi
Rabu 17-12-2014,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :