Dulu Bisa Ekspor ke Amerika dan Korea Selatan

Rabu 17-12-2014,10:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Gejala Alam Rusak Usaha Ikan Asin Ikan asin merupakan makanan khas Indonesia sebagai pendamping makanan utama. Industri ikan asin di sekitar pantura Cirebon timur ini bahkan sudah bisa mengekspor keluar negeri terutama Korea hingga Amerika. Sayangnya, gejala alam belakangan ini mempengaruhi keberlangsungan usaha ini. DENNY HAMDANI, Mundu USAHA ikan asin di wilayah timur Cirebon bisa dikatakan sedang terpuruk. Dari tujuh pabrik yang ada, kini hanya menyisakan dua pabrik saja. Menyusutnya jumlah pabrik ini disebabkan sulitnya mendapat bahan baku untuk ikan asin. Seperti diketahui, industri pengolahan ikan asin memerlukan ikan dengan jenis tertentu. Industri ini sangat bergantung pada faktor cuaca. Belakangan ini, industri ikan asin semakin morat-marit karena sulitnya mendapatkan ikan untuk bahan baku. Biaya produksi para pemilik usaha ikan asin membengkak lantaran harus mendatangkan ikan dari daerah lain. Pemilik PT Samudera Mulya di Desa Citemu Kecamatan Mundu, H Sarif mengungkapkan, usaha ikan asin sudah dilakoni sejak tahun 1988. Sarif yang sudah terjun di bisnis ikan asin sejak tahun 1970-an baru mengalami kondisi seperti sekarang ini. Anomali cuaca dan minimnya tangkapan ikan untuk bahan baku membuat banyak pengusaha tak mampu bertahan. “Saya mulai belajar usaha ini di Jakarta dan baru tahun 1988 saya ke Cirebon buka usaha di sini. Selama saya merintis indutri ikan asin dari mulai nol, baru belakangan merasakan dampak  perubahan iklim,”ujar  Sarif, saat ditemui wartawan koran ini di kantornya. Sarif mengungkapkan, dalam satu hari kapasitas produksi PT Samudera Mulya bisa mencapai 10 ton ikan asin. Produksi dengan kuantitas itu baru bisa dicapai bila cuaca mendukung dan bahan baku ikannya bagus. Bila cuaca buruk dan bahan baku ikan sulit didapat, kapasitas produksi maksimal hanya dua ton. Proses pembuatan ikan asin memang sangat bergantung pada alam. Untuk ikan teri dan ikan kembung direbus terlebih dahulu, kemudian dicampur garam dan dijemur setidaknya delapan jam. Penjemuran inilah yang membutuhkan dukungan alam. Lain lagi dengan ikan laut yang diasinkan dengan perendaman selama satu hari satu malam. Butuh setidaknya tiga kwintal garam untuk merendam. Nah untuk penjemuran ikan yang diasinkan dengan cara ini, butuh waktu satu hari hanya untuk proses menjemurnya saja. Usaha ikan asin di Kabupaten Cirebon, menurut Sarif sangat prospektif. Sebab, wilayah pemasarannya sudah ke seluruh Indonesia. Pengiriman bahkan dilakukan setiap hari karena permintaan ikan asin sangat tinggi. Belum lagi pasar ekspor yang juga menjanjikan. Berbeda dengan  ikan asin untuk konsumsi lokal, untuk ekspor ke Amerika dan Korea Selatan, jenis terinasi lebih diminati. Meski prospeknya sangat cerah, namun usaha ini tidak dipungkiri Sarif mulai mengalami kemunduran sejak 2005. Kemunduran usaha diawali sulitnya mencari ikan, bahkan komposisinya 80 persen dari luar dan 20 persen dari wilayah Cirebon. “Tadinya bahan ikan itu dari Cirebon semua,” ucapnya. Untuk mendapatkan ikan, Sarif harus membelinya dari Muara Angke dan Pekalongan. Sekarang ini, nelayan di Cirebon bahkan jarang yang mendapatkan ikan untuk diasinkan. Biasanya mereka hanya berlayar satu jam untuk mendapatkan ikan. Sekarang, setidaknya mereka harus berlayar lima jam hingga ke tengah laut karena ikan baru ada di area itu. Setelah berbagai industri bermunculan dan PLTU berdiri, nelayan malah sudah tidak mendapatkan iklan yang dibutuhkan di perairan Cirebon. Belum lagi cuaca yang membuat proses pembuatan ikan yang biasanya Cuma satu hari, sekarang bisa sampai sepuluh hari. Bahkan, Sarif mengaku, sudah 10 hari kita tidak melakukan produksi ikan asin. “Saya cari dimana-mana itu nggak ada ikan, karena memang musim angin barat dan nelayan juga nggak ada yang melaut,” ungkap Sarif. Sarif sangat kecewa tidak adanya pertisipasi dari pemerintah. Bila pemerintah melakukan pembinaan, setidaknya industri ikan asin akan terus bertahan. Puluhan tahun dirinya menjalankan usaha ikan asin, pemerintah tak pernah memberikan pendampingan. Yang ada, dari dinas hanya meninjau saja. Berbeda dengan di Jawa Timur. Baru lima tahun berproduksi, sudah diberi stimulant Rp1 miliar dan pendampingan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait