Perahu merupakan perangkat wajib bagi nelayan. Inilah yang membuat produksi kerajinan perahu tradisional hingga kini tetap bertahan, meski peralatan canggih terus bermunculan. SALAH satu desa yang sangat terkenal dan mempunyai kualitas terbaik dalam produksi kerajinan perahu yakni, Desa Gebang Kulon. Banyaknya perajin membuat desa ini dikenal sebagai pabrik perahu tradisional. Bahkan, perajin perahu dari Gebang Kulon, sudah memasarkan produknya hingga ke Jawa Tengah. Sampai saat ini, perahu tradisional tak pernah sepi peminat. Pesanan terus berdatangan termasuk dari luar kota. Namun, keuntungan pembuatan perahu tidak menentu, lantaran dipengaruhi perubahan harga bahan baku. “Bahan baku utamanya kayu jati. Nah gara-gara BBM naik, ongkos angkut kayu juga naik,” ujar salah seorang perajin perahu, Ruslani, kepada Radar. Ruslani mengungkapkan, usaha yang kini digelutinya diturunkan dari orang tuanya. Skill membuat perahu dipelajari sejak dirinya masih kecil. Membuat perahu tentu tidak sembarangan. Sudut-sudutnya harus presisi, agar bisa mengarungi lautan dengan baik. “Saya sudah puluhan tahun bikin perahu. Jadi keahlian ini memang diturunkan turun temurun. Dulu ini usaha orang tua, kemudian saya teruskan,” tuturnya. Trade mark Desa Gebang Kulon sebagai pusatnya pembuatan perahu tradisional, membuat pesanan terus mengalir kepada para perajin. Bahkan, pemesan kadang harus antre lantaran banyaknya order yang diterima. Setelah menyelesaikan perahu yang sedang ditanganinya, sudah ada sembilan pesanan yang datang. “Nelayan itu kan sangat butuh perahu. Selama masih ada nelayan, perajin perahu seperti saya ini tentu terus bisa hidup,” katanya. Bersama lima pegawainya, Ruslani mengaku, bisa menyelesaikan sampai tiga perahu dalam tiga bulan. Dalam satu tahun, dirinya bisa memproduksi maksimal 15 perahu. Tentu saja, sudah bisa dibayangkan berapa lama pemesan menunggu perahunya dibuat. Meski bisnis ini cenderung stabil, namun kenaikan harga BBM sempat membuat usahanya tergoncang. Biaya produksi satu perahu sekitar Rp25 juta. Biasanya, perahu dijual ke nelayan seharga Rp30-35 juta. Saat kenaikan harga BBM, ada peningkatan biaya produksi yang signifikan dan membuat ongkos produksi menggerus keuntungan yang seharusnya didapat. Kenaikan BBM, membuat modal membuat perahu bisa sampai Rp30 juta. “Kalau kita tidak naik ya kita juga rugi, kalau naik menuruti harga bahan, ya tahu sendiri nelayan ikan daya belinya terbatas,” tuturnya. Dalam pembuatan perahu ini dirinya menggunakan kayu jati yang didatangkan dari Kabupaten Kuningan. Kiriman kayu yang diterimanya, biasanya masih berbentuk pohon. Kayu yang baru datang, tidak bisa langsung diproses untuk perahu. Butuh waktu lama sampai kayu kering dan siap digunakan untuk membuat perahu. Selain proses pengeringan, yang membutuhkan keahlian khusus dalam kerajinan ini ialah membuat kayu menjadi lengkungan dengan sudut tertentu. Proses membuat kayu menjadi lengkungan ini membutuhkan pemanasan dengan pembakaran. Sayangnya, para pengusaha kayu belakangan ini menjadi sasaran penipuan. Bahkan, Ruslani pernah merugi hingga Rp70 juta. Pembelian kayu jati memang rawan kecurangan. Kayu yang diterima terkadang bukan yang berkualitas baik, bahkan keropos. Meski memiliki langganan, namun penipuan tetap saja terjadi. Dirinya berharap, pemerintah turut memikirkan hal ini. Perajin perahu perlu perlindungan agar tidak terus-terusan menjadi sasaran penipuan. Perajin perahu lainnya, Sujana mengungkapkan, Desa Gebang Kulon memang sudah kesohor di berbagai daerah karena kualitas produksi perahunya sangat baik. “Coba tanya saja ke nelayan Jakarta dan di daerah lain. Coba tanya, perahu buatan mana yang bagus,” tuturnya. Sujana mengatakan ,pengiriman perahu yang sudah dibuat dilakukan lewat laut. Perahu yang sudah siap dikirim akan ditempatkan di Sungai Ciberes. Dari Sungai Ciberes, biasanya pemilik perahu langsung membawa perahunya ke daerah asal. (den)
Andalkan Keahlian Turun-Temurun
Jumat 19-12-2014,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :