Penjual Nasi Kuning

Sabtu 17-01-2015,10:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Oleh: Munibah “NASI kuningnya besok empat bungkus, ya?” Erni mengangguk. Beberapa garis diarsir di nota pemesanan yang dibuatnya sendiri. Tanpa bertanya siapa yang pesan, ia lekas memasukkan nota ke kolong laci. Beberapa saat kemudian, teman dari kelas lainnya datang. Satu dua orang dikenalnya, tiga orang yang membuntut, baru pertama kali mampir ke kelas Erni. Ia mengangguk ketika langganannya selesai memesan. Lagi, tanpa bertanya siapa saja mereka. Ia cukup menghapal dari kerudung dan tatanan rambut yang menjadi ciri khas masing-masing. Lonceng berdengung. Siswa yang berhamburan lekas kembali menyusun deretan kursi. Para siswa masuk ke kelas, riuh, ramai, dan berlalu-lalang. Pintu kelas Erni tertutup. Mulai berdoa. Kemudian seruangan penuh diliputi topik dan info baru. Satu dua hanya diam membisu menjadi pendengar selagi lainnya asik bercerita. Tidak juga dengan Erni, jemari lentiknya sibuk menghitung pemasukan yang ada. Hingga hari ke empat belasnya berjualan nasi kuning, Erni sudah mengumpulkan uang hingga tujuh puluh ribu. Senyum menyimpul begitu saja di wajah mungilnya. “Yang pesan nasi kuning besok ada berapa, Er?” “Baru tujuh orang,” ucapnya sambil menghitung arsiran yang dibuatnya. “Aku satu ya, Er.” Ucapan Ade, teman sebangkunya, membuat Erni senyum. Ia mengangguk pasti sambil mengarsir di nota pemesanan. SORENYA, dengan sepeda phoenix hitamnya, Erni menyusuri jalanan kampung yang berkerikil. Udara berdesir menggoyangkan rambut ikalnya. Ia menuju bik Mar, salah satu penjual nasi kuning di kampung yang tiap pagi menyediakan pesanannya. Sekalian beberapa lembar uang sudah ia persiapkan untuk membayar pesanan tadi pagi. Usai berkunjung ke rumah bik Mar, Erni harus mengayuh sepedanya lagi menuju bik Run, yang juga penjual nasi kuning. Letaknya dua kali lipat perjalanan menuju bik Mar. Tapi, senyum dan tatapan kepuasan teman-temannya esok hari menyumbulkan semangatnya begitu saja. Tiap pagi buta, Erni harus sudah mengantongi enam puluh bungkus nasi kuning. Karena kemampuan bik Mar hanya membungkuskan sejumlah tiga puluh nasi kuning, Erni pun mesti mencari langganan baru untuk menutupi kekurangannya. Meski esok pesanan masih di bawah empat puluh bungkus, hatinya begitu yakin, esok pesanannya kembali bertambah, dan nasi kuningnya laris manis terjual.   * PAGI, ayam belum benar berkokok dengan nyaring. Erni telah bersiap dengan tas sekolah dan seragam. Hari ini, ia juga tidak lupa mengayuh sepeda hitamnya. Kedua orang tuanya telah lebih dulu berangkat ke pasar untuk belanja keperluan warung. Erni keluar rumah. Terlihat sepatunya begitu lusuh dan bolong di sana-sini. Tapi hati kecilnya masih terus saja merasa sayang dan nyaman jika sepatu yang empat tahun menjadi teman pijakannya mesti diganti dengan yang baru. Pikirnya, yang baru tidak mesti membawa kenyamanan dan kedamaian. Terkadang yang baru perlu ekstra adaptasi. Meski hanya soal kaki. Erni menuju sekolahnya. Letaknya di empat desa seberang. Fajar terus menghilang malu karena pagi. Ia harus lebih santer mengayuh. Pukul enam, ia dan bungkusan nasi kuning terbiasa sudah mangkal di mejanya. Keringat bercucur dari garis kepalanya, Erni mengelap menggunakan kerudung putihnya. Ia memasuki komplek wiyata mandala. SMP tempat Erni bersekolah adalah satu-satunya SMP negeri di kecamatannya. Itulah sebabnya Erni perlu bersiku masuk menjadi siswa di sana. Mendadak Erni tersenyum. Baliho ucapan selamat datang ketika masa orientasi dulu masih terpajang. Betapa senangnya Erni, fotonya disertakan pula di sana. Meski hanya berukuran sepuluh centi saja. Di ruang kelas, beberapa teman sudah datang. Biasanya mereka yang melaksanakan tugas piket kelas akan berangkat lebih awal. Dari situlah Erni mengais rejekinya. Sehabis membersihkan dan menyiapkan persiapan pembelajaran, satu dua temannya akan menemuinya dan membeli nasi kuning. Dengan harga yang terjangkau, seribu rupiah. Keuntungan dari tiap bungkus nasi kuning yang dijualnya hanya seratus rupiah. Tapi, jerih payah itu tidak berarti apa-apa tanpa senyum teman-teman yang membeli nasi kuning. Mereka akan segera melahapnya, menghilangkan kelaparan yang mendera sejak bangun pagi. Erni sudah sangat senang dapat membantu teman-temannya berkonsentrasi dalam pagi hari mereka ketika pelajaran dimulai. Tanpa mengeluhkan lapar yang dapat membuat mereka ngantuk, tidak bersemangat. Erni merapikan mejanya. Dua kresek nasi kuning diletakkan di atas meja. Ia duduk kemudian. Menunggu teman-temannya datang membeli. Dua orang perempuan berjalan beriringan memasuki kelas. Mereka tersenyum menyapa. Erni membalas. Dua orang itu pemesan kemarin. Mereka memesan lima bungkus nasi kuning. Erni mengambil lima bungkus dari kresek pertama. “Maaf ya, aku tidak bawa kresek lagi.” Erni menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak berasa gatal. “Oh, tidak apa-apa, Er. Masih bisa dibawa pakai tangan kok. Makasih ya.” Berganti teman-teman selanjutnya. Erni tak pernah bosan menyimpulkan senyumnya. Meski baru kelas dasar di SMP, caranya melayani pembeli sudah terlatih sejak masih TK dulu. Keluarga Erni memiliki warung yang mau tidak mau menajadi tanggung jawabnya pula untuk menjadi pelayan di warung. Bakat berdagangnya memang sudah mengalir alami. Hanya hitungan menit, satu kresek berisi tiga puluh nasi bungkus habis. Erni perlu bersabar menunggu sekolah semakin ramai berdatangan teman-teman yang akan membeli nasi kuningnya. Ade datang dengan wajah sumringah.Dia lekas duduk di samping Erni. “PR Matematika sudah dikerjakan, Er?” “Sudah. Kamu bagaimana, De?” “Aku juga sudah. Ternyata gampang juga, ya.” Erni tersenyum. Lebih tepatnya lega karena Ade sudah mau membuat PR-nya sendiri. “Permisi!” seseorang berseru dari balik pintu. Lalu datang menyumbul tepat di hadapan Erni. “Erni dipanggil ibu Munip.” Jantung Erni langsung berderap kencang ketika nama bu Munip diucapkan laki-laki itu. Ia melirik Ade sekilas. “Yang jualan di kantin belakang itu, lho.” “Ada apa, ya?” Ade menggeleng. Ia hanya bisa mengelus pundak Erni, menenangkannya meski hanya beberapa detik saja. Erni melangkah. Perasaannya sengkarut. Pagi yang tidak biasa ini membuat pikirannya terus dipenuhi dugaan-dugaan. Setahunya, Erni tidak punya masalah dengan bu Munip. Ia juga selalu membayar ketika membeli sarapan. Pun Erni tidak merasa menjadi siswi terkenal. Ia hanya gadis kecil yang baru menginjak SMP, belum punya banyak kenalan. Selain para konsumen yang datang begitu saja karena berita mulut yang menyebar begitu saja. Dalam langkahnya menuju warung bu Munip. Beberapa teman menunjuknya dengan telunjuk yang lurus mengarah matanya. Erni semakin dibuat bingung. “Dicariin bu Munip, Er.” Bu Munip rupanya tidak hanya menyuruh satu dua orang, tapi banyak orang. Apa ini, pikirnya semakin kacau. Sampai di depan warung, Erni ragu. Langkahnya terhenti seketika. Ada urusan apa bu Munip memanggilnya. Erni yang polos berusaha mengumpulkan keberaniannya. Dia masuk. Menemui bu Munip yang tengah duduk santai di kursinya. “Mau sarapan?” “Tidak, bu. Saya Erni,” Bu Munip langsung berdiri ketika Erni menyebutkan namanya. “Oh, kamu Erni, yang jualan nasi kuning di sekolah?!” nada bicara bu Munip lebih tinggi dan keras. Orang-orang yang sedang ramai memesan diam seketika. Menatap satu titik kecil, Erni. Sendirian berdiri menghadap seorang paruh baya dengan tatapan penuh kekuasaan. “Berani sekali kamu jualan nasi di sini! Disuruh siapa begitu?” Erni menunduk. Praduga yang sempat berseliweran menjadi bulir air mata. Ini kali pertamanya Erni merasa begitu malu dengan ujaran kasar itu. “Memangnya kamu pikir sekolah ini ladang jualan, apa? Di sini sudah ada tiga warung yang sama-sama jualan nasi buat sarapan. Kamu sok-sokan jualan.” “Maaf, bu. Saya cuma membawakan pesanan teman-teman saja.” “Halah! Sok pinter kamu! Sok membantu orang tua!” Erni tergugu ketika kata ‘orang tua’ diceploskan dengan nada kasar. Pikirannya langsung tertuju pada Ayah dan Ibunya di rumah. Dalam hati Erni yang tidak bisa diucapkan oleh lidah yang kelu, niatnya hanya ingin membantu meringankan. Bukan sok pamer. Bukan juga adu kemampuan. “Berapa sekali bawa?” Erni diam. Antara ingin menjawab atau bahkan terus menunduk. “Gara-gara kamu, kami yang jualan di sini jadi rugi total! Memangnya kamu pikir kami ini untungnya seberapa jualan di sini? Jangan kamu anggap karena kamu murid di sini bisa melakukan apa saja sesukamu. Memange ini sekolahan bapakmu, apa!” Kali ini ibu yang lain menimpali. Ia ibu dari bu Munip, sehari-harinya ikut membantu di dagangan bu Munip. “Awas kamu, ya, kalau besok berani jualan lagi. Saya laporin kamu ke kepala sekolah!” Erni tertegun. Langkah kecilnya yang baru saja begitu semangat dengan wajah yang selalu terlihat sumringah, mendadak kelabu menjadi sendu. Air matanya terasa berat ditumpahkan saat itu. Malu, takut, dan sendiri, begitu membuatnya asing pada waktu. Siapa dan apa haknya memarahi gadis penjual 60 bungkus nasi kuning saja. Erni melihat sekelilingnya dengan pandangan berani. Gedung-gedung sekolah yang melingkarinya terdiri dari dua puluh satu ruang kelas dengan empat puluh siswa di dalamnya. Erni tertawa kecil. Batinnya lebih miris kini, ia baru saja membawa 60 bungkus nasi kuning. (*)   Griya Damai, 11 Januari 2015   *Penulis adalah istri dan ibu rumah tangga sederhana yang tinggal di Kota Mangga, Indramayu

Tags :
Kategori :

Terkait