SEPERTI yang diduga, pidato Presiden Jokowi yang hanya lima menit sangat mengecewakan. Dalam pidato yang nyaris tidak ada isi signifikannya tersebut, Jokowi tidak hanya membuat banyak orang mengelus dada, prihatin. Mantan wali kota Solo dan mantan gubernur DKI Jakarta tersebut juga telah gagal meredam keresahan rakyat gara-gara penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). Sebelumnya, penangkapan polisi terhadap BW sudah sangat mengejutkan. Apa lagi kemudian diketahui bahwa kasus yang menjerat BW terjadi empat setengah tahun lalu. Yakni, menyuruh orang lain memberikan kesaksian palsu. Saya tidak hendak berbicara mengenai konstruksi kasusnya. Sebab, saya yakin bahwa Polri tidak akan bodoh untuk merekayasa kasus. Meski mungkin minimalis, bukti yang ada pastilah cukup untuk sekadar menjadikan BW sebagai tersangka. Polri pasti akan selalu berlindung di balik argumentasi itu. Yakni, orang ini melakukan kejahatan dan bukti-bukti yang ada memenuhi unsur pidana. Jadi, ini tidak ada yang berkaitan dengan institusi KPK. Sebuah argumentasi yang benar, tapi juga menjebak orang untuk terseret dalam setting-an situasi yang telah diciptakan. Masyarakat tidak terlalu bodoh untuk melihat bahwa penangkapan itu merupakan bagian dari sebuah upaya sistematis lebih besar yang meresahkan. Terlalu banyak kebetulan di sana. Penangkapan tersebut kebetulan dilakukan Polri sehari setelah Hasto membuat dagelan tidak lucu tentang pengungkapan keinginan Abraham Samad menjadi cawapres. Kebetulan pula setelah penggantian mendadak Kapolri dan Kabareskrim yang tidak jelas dengan alasan apa. Semua tahu, meski Polri beralasan itu tidak ada yang berkaitan dengan KPK, penangkapan BW jelas upaya melemahkan KPK. Boleh berargumentasi apa pun. Tetapi, bila BW ditangkap (kemungkinan Abraham Samad menyusul), situasi bakal berubah. Operasional KPK terganggu (rapat komisioner bisa dianggap tidak kuorum dsb) dan psikis komisioner yang lain terteror. Apalagi, setelah Kejaksaan Agung ’’jatuh’’ ke tangan sekelompok orang, tentu jangan sampai Polri jatuh pula. Bila dua pimpinan lembaga tersebut terkooptasi oleh pimpinan politik koalisi, itu akan sangat berbahaya. Mempunyai Polri dan Kejagung (baca: menjadi alat) menjadikan rezim penguasa sebagai oligarki lalim yang bisa melakukan apa saja di negeri ini. Misalnya, mengkriminalkan siapa pun yang dikehendaki, menyingkirkan siapa pun yang tidak berkenan. Padahal, siapa pejabat di negeri ini yang tidak punya salah? Inilah yang membuat resah. Inilah yang membuat banyak kekuatan sipil berusaha menentang penangkapan BW. Bukan karena sosok BW-nya yang dibela, tetapi sebuah simbol yang menjadi pengimbang dan pengontrol kelakuan buruk penguasa. KPK mungkin tidak bersih. KPK mungkin juga pernah salah. Tetapi, setidaknya kode etik yang berlaku di dalamnya masih jauh lebih tinggi daripada institusi penegak hukum yang lain. Setidaknya, dalam pandangan masyarakat, KPK menjelma sebagai simbol kedaulatan rakyat. Penangkapan BW memang bisa jadi benar secara legal formal (tentu saja sesuai dengan konstruksi kasus ala Polri). Namun, susah membayangkan penangkapan itu tidak bertujuan melemahkan KPK. Plt Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti boleh bilang berjuta-juta kali bahwa tidak ada unsur politis dan tidak ada masalah KPK dengan Polri. Itu sebuah bentuk pertahanan dan strategi terbaik Polri. Yakni, tidak mau bergeser dari legal formal. Tetapi, itu hanya menunjukkan sebuah bentuk kebebalan polisi, atau justru tidak kuasanya Polri menghadapi tekanan pihak lain. Dalam menangani kasus, polisi bisa dan sangat biasa menghitung dimensi sosial, politik, dan filosofis sebuah kasus. Jika hanya memandang legal formal, seharusnya orang Papua, orang Bali di pedalaman, suku-suku lain, pengunjung di pantai-pantai yang mengenakan pakaian ala kadarnya karena adat, ditangkap karena jelas-jelas melanggar UU Antipornografi. Banyak hal di masyarakat yang bila dipandang dari satu sisi legal formal saja melanggar aturan dan pelakunya harus ditangkap. Tetapi, kan tidak. Sebab, polisi memandang dimensi yang lain. Begitu pula halnya dengan kasus BW. Semakin bertahan dengan berargumentasi hanya dari satu sisi legal formal semakin menunjukkan Polri tidak independen. Dengan situasi ini, kesan Polri menjadi alat penguasa terasa begitu kental. Kepada Presiden Jokowi, saat pilpres lalu, saya memilih Anda. Hingga detik ini pun, saya tidak pernah menyesali. Tetapi, sungguh Anda benar-benar sangat mengecewakan bila memilih cari aman dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan normatif tanpa makna seperti yang telah Anda tunjukkan. Kini saatnya Anda harus menunjukkan bahwa Anda adalah presiden. Bertindaklah sebagai presiden. Yang milik rakyat dan bekerja untuk rakyat. Bukan hanya milik PDIP dan segelintir baron politik yang seperti mendapat blank cheque kekuasaan yang amat besar. Juga jangan mengambil tindakan yang dilakukan hanya untuk menyenangkan semua pihak. (*) *Wartawan Jawa Pos, alumnus Fakultas Filsafat UGM
Presiden, Bertindaklah sebagai Seorang Presiden
Senin 26-01-2015,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :