KMP Lanjut, KIH Fleksibel

Rabu 28-01-2015,10:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

JAKARTA - Koalisi Merah Putih (KMP) masih ingin melanjutkan nostalgia pemilu presiden hingga tingkat daerah. Menghadapi pemilihan kepala daerah serentak pada 2015, mereka berusaha mempertahankan soliditas koalisi untuk menggalang perolehan suara. Juru bicara KMP dari Partai Golongan Karya Tantowi Yahya menyatakan, terbuka lebar peluang tetap bersatunya KMP dalam pilkada. Partai politik yang selama ini tergabung dalam KMP tetap silih berganti mendukung salah satu wakil mereka untuk memenangi pilkada.\"Pilkada langsung tidak menjadi hambatan,\" kata Tantowi di gedung parlemen Jakarta, kemarin (27/1). Menurut Tantowi, penjaringan calon di internal KMP bisa saja dilakukan. Di satu daerah bisa dilakukan penjaringan internal dengan mengadakan survei terkait elektabilitas parpol dan calon kepala daerah yang dicalonkan dari anggota KMP.\"Ambil contoh Golkar dan PAN yang paling populer, ya kami dukung,\" ujar ketua DPP Partai Golkar kubu munas Bali itu. Pencalonan kepala daerah dari KMP didasarkan kepada komitmen pemerataan. Menurut Tantowi, anggota koalisi KMP berkomitmen mendukung calon kepala daerah mereka secara bergantian. Partai Golkar dalam revisi UU Pilkada juga mendorong pencalonan tetap dilakukan secara berpasangan, tidak dengan pencalonan tunggal seperti di Perppu Pilkada saat ini. Berbeda dengan Tantowi, Ketua Pokja Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Komisi II Arif Wibowo menilai, koalisi KMP dan KIH bukan harga mati di pilkada. PDIP lebih mengutamakan kedekatan ideologis, persamaan visi, dan kesepadanan misi. Karena itu, belum tentu basis KIH yang terjadi di tingkat pusat akan terjadi proses yang sama hingga daerah. \"Setiap daerah berbeda. Bisa saja dibutuhkan koalisi. Bisa saja tidak dibutuhkan,\" kata Arif. Dia menyatakan, koalisi yang dijalin dalam pilkada harus menghindari pragmatisme sehingga tidak perlu dilakukan buru-buru dan transaksional. Karena itulah, dalam pilkada, dibutuhkan tahapan yang cukup. \"Tidak seperti sekarang ini. Tiga bulan sebelum penetapan calon tiba-tiba berkoalisi, kemudian akhirnya urusannya menjadi sangat pragmatis dan transaksional. Siapa yang punya duit, ya maju,\" ujarnya. Arif tetap menilai, uji publik dalam pencalonan kepala daerah diperlukan. Dari uji proses itu, parpol mendapat umpan balik atau tanggapan dari masyarakat. \"Feedback dari masyarakat itu mendukung siapa, parpol tidak bisa menghindar,\" katanya. Sebagai contoh, dalam pilkada diajukan lima bakal calon. Ternyata, bakal calon nomor 2 dan 3 mendapat respons positif, sedangkan tiga bakal calon yang lain memiliki track record buruk.\"Masak partai mau memaksakan pencalonan tiga orang yang oleh publik dinilai tidak cukup baik. Begitu mekanismenya,\" ungkapnya. (bay/c4/fat)

Tags :
Kategori :

Terkait