JAKARTA - Seharusnya ini tidak membuat kita berkecil hati. Satu pabrikan oli terkemuka dunia, merilis data yang menyebut Jakarta sebagai kota dengan lalu lintas terburuk sejagad. Sebaliknya, penelitian itu harus menjadi cambuk bagi petinggi dan rakyat negeri ini untuk melakukan revolusi bidang transportasi. Stop-Start Index yang dirilis Castrol menyebutkan bahwa satu mobil di Jakarta dalam rata-rata melaju dan berhenti karena macet sebanyak 33.240 per kilometer dalam setahun. Angka itu cukup jauh di atas Istanbul (Turki) yang menjadi kota dengan lalu lintas terburuk kedua dengan indeks 32.520. Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, juga masuk “papan atas”. Kota Pahlawan menduduki peringkat terburuk keempat di dunia dengan indeks 29.880. “Emang iya (Jakarta termacet), kalau kamu nggak punya sistem transportasi berbasis rel pasti macet,” kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di balai kota kemarin (4/2). Bukan salah Ahok, sapaan Basuki Tjahaja Purnama, kalau kemudian Jakarta punya lalu lintas yang begitu buruk. Dia baru beberapa bulan menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang kini menjabat Presiden RI. Masalah itu lebih karena kebijakan pemerintah pusat yang sejak dulu memang kurang mendukung pengembangan transportasi masal. Jakarta sebenarnya sudah punya dan terus mengembangkan sistem transportasi masal. Namun, karena dijalankan dan dikembangkan saat lalu lintas Jakarta sudah demikian buruk, impian punya transportasi masal yang baik sangat sulit untuk diwujudkan. “Ini PR (pekerjaan rumah) 30 hingga 40 tahun ke depan,” kata Ahok. Busway (Transjakarta) sudah berjalan dan melayani warga di pusat. Namun, jumlah bus sangat minim, 770 unit dari jumlah ideal 1.289 unit. Beban lalu lintas Jakarta yang berpenduduk, di atas 10 juta kian berat karena setiap hari jutaan orang dari kota-kota sekitar masuk dan keluar dari Jakarta setiap hari untuk urusan pekerjaan. Padahal, proyek transportasi masal lain masih belum jelas masa depannya. Monorel yang tiang-tiangnya sudah bertebaran di kawasan Senayan dan Rasuna Said bakal dirobohkan. Light rail transit (LRT) juga baru dalam tahap penjajagan. Di sisi lain, untuk mengerem laju pertumbuhan kendaraan yang mencapai 6.000 per hari tentu sangat sulit dilakukan. Kelas menengah di Jakarta semakin banyak, hak asasi mereka membeli kendaraan bermotor. Karena itu, Ahok dengan dukungan pemerintah pusat tentunya, harus melakukan revolusi untuk mengakselerasi perbaikan transportasi. Pelarangan motor di sepanjang Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Medan Merdeka Barat sudah baik. Namun, belum terlalu terasa impact-nya karena lingkupnya masih kecil. Perlu gebrakan yang jauh lebih besar. Meski tidak separah Jakarta, Pemerintah Kota Surabaya juga harus bekerja ekstra keras untuk keluar dari “papan atas” lalu lintas terburuk. Kalau mau lebih agresif, seharusnya bisa lebih mudah merealisasikan sistem transportasi masal yang bagus. Namun, rencana membangun monorel maupun trem belum bisa terlaksana karena minimnya dukungan pusat. Jadinya, upaya untuk membuat lalu lintas di Surabaya hanya solusi sementara. Sebatas kemacetan tidak parah, belum pada tataran membuat lebih lancar. Di antaranya dengan memperluas jaringan Surabaya Intelligent Transport System (SITS). Itu adalah sistem terpadu untuk pengaturan lalu lintas yang lebih baik di persimpangan jalan. Data yang dihimpun dari dinas perhubungan (dishub) Surabaya menunjukan ada 121 persimpangan yang telah dipasangi lampu rambu lalu lintas. Dari jumlah itu baru 57 titik yang terpasang SITS. SITS didukung kamera dengan sensor khusus yang bisa mendeteksi kepadatan kendaraan. Bila ada antrean kendaraan panjang, lampu yang menyala hijau akan lebih lama untuk jalur antrean itu. “Soal kemacetan, di Surabaya sebenarnya sudah tertangani,” kata Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Surabaya Irvan Wahyu Drajat. “Karena itu saya heran kalau ada survei yang menempatkan Surabaya sebagai kota dengan kondisi lalu lintas yang buruk,” lanjutnya. (fai/mia/jun/ang)
Transportasi Butuh Revolusi
Kamis 05-02-2015,09:31 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :