Cerai Cukup Persetujuan Keluarga
Lebih dari 600 warga Desa Setupatok, Cirebon, memilih nikah siri lantaran sudah menjadi kebiasaan turun-menurun. Kini muncul persoalan garis keturunan.
PERNIKAHANNYA sudah berlangsung 17 tahun silam. Tetapi, Madrais (48), masih ingat betul dia hanya butuh uang Rp10 ribu untuk bisa “resmi” menjadi suami Saniah (36). “Caranya sama seperti orang tua saya menikah,” kenang warga Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, itu.
Yang dimaksud sama oleh Madrais adalah dia menikah tanpa mencatatkannya ke kantor urusan agama (KUA). Karena itulah, resmi di atas mesti diberi tanda kutip. Sebab, pernikahan yang sudah bertahan selama 20 tahun itu tidak dilengkapi dokumen sama sekali.
Namun, Madrais dan orang tuanya sama sekali bukan fenomena singular di desa yang hanya berjarak 30 menit perjalanan darat dari Stasiun Kota Cirebon itu. Menurut M Yusuf, kuwu atau kepala desa setempat, saat ini ada 675 kepala keluarga di desa yang dekat dengan Waduk Setu Patok tersebut yang tidak memiliki buku nikah dan hanya mengikat pernikahan secara siri. Entah itu siri secara agama atau siri secara negara. “Tidak punya buku nikah, tidak ada KTP (kartu tanda penduduk, red). Ibarat motor, bodong,” jelasnya.
Tidak ada KTP? Ya, secara umum warga desa yang memiliki enam dusun itu tergolong sangat rendah kepeduliannya terhadap dokumentasi kependudukan. Dari total 6.180 warga yang wajib berkartu identitas, 1.856 di antaranya tidak memiliki KTP. Jumlah itu pun sudah jauh berkurang ketimbang sepuluh tahun lalu.
Padahal, Setupetok sama sekali bukan desa terbelakang. Selain gampang diakses dari Kota Cirebon, kondisi perekonomiannya juga tergolong bagus. Tidak cuma bertani, warga setempat juga membuka toko atau menjadi buruh pabrik.
Menurut Yusuf, sejak 2005 kehidupan warga semakin membaik lantaran mulai berani berdagang dalam partai besar. Terutama impor rempah-rempah seperti jahe atau bawang. “Di sini ada dua belas pengusaha besar,” ujarnya.
Tampilan fisik pun sudah menggambarkan tingkat perekonomian itu. Sejauh pengamatan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) yang belum lama ini berkeliling di desa dengan 2.476 KK tersebut, mayoritas rumah sudah berada dalam kondisi “sehat”. Artinya, tidak beralas tanah, memiliki ventilasi cukup, mendapat air bersih, dan terbagi dalam beberapa ruang di dalamnya.
Hampir semua rumah juga dilengkapi peralatan elektronik dan kendaraan bermotor. Jalanan desa juga lebar dan beraspal yang memudahkan truk-truk pengangkut hasil pertanian atau barang impor lalu-lalang. Truk seberat 70 ton pun biasa melintas di sana.
Kalau kemudian desa tersebut bisa lekat dengan budaya nikah siri dan secara umum rendah kepedulian terhadap dokumen kependudukan, faktor tradisi yang diperparah dengan buruknya tingkat pendidikan sepertinya bisa ditunjuk sebagai penyebab.
Warga tidak tertarik kepada pendidikan karena bagi mereka yang terpenting adalah mencari uang. Anak-anak muda malas ke sekolah karena melihat sekeliling mereka yang buta huruf pun ternyata tetap bisa makmur. Otomatis, mayoritas warga setempat pun buta huruf.
Jadilah, ketika menikah, mereka juga enggan mengurus ke KUA. Bukan lantaran tidak memiliki materi untuk menyelesaikan segala biaya menikah. Tapi, karena mereka merasa, yang penting adalah memiliki suami atau istri yang “sah” secara tradisi untuk diajak tinggal seatap. “Sedikit yang bisa baca. Mereka pikir, buku nikah tidak penting,” ujar Yusuf yang juga menjadi guru bimbingan konseling di Madrasah Aliyah Setu Patok itu.
Sejak awal, nikah siri di desa tersebut memang sudah merupakan praktik umum. Berdasar cerita turun-temurun, sejak mulai dibangun pada 1918-1923, perkawinan sudah dilakukan secara mudah: yang penting warga sekitar tahu sepasang pria dan wanita telah menikah.
Sarkam, salah seorang warga, mengaku, dulu dia juga menikah hanya bermodal KTP sementara. Otomatis, dia juga tidak punya buku nikah dan dokumen lain. Baru sekarang dia berniat mengurus kartu identitas karena bermaksud mengajukan kredit ke bank.
Pasangan nikah siri termuda di kampung berpenduduk 9.564 jiwa itu adalah Akhmadi (22), yang lahir 1989. Dia mempersunting Buraisah (20), yang usianya lebih mudah dua tahun, pada 2008. Sama dengan pengakuan Madrais, keduanya menikah tanpa mencatatkan diri ke KUA. Sedangkan Pasangan siri tertua berdasar catatan Kuwu adalah Abbas bin Ilyas yang lahir 21 November 1947 dan istrinya, Masriyah, kelahiran 1951.
Menurut Kepala Urusan Pemerintahan Desa Setupatok, Rudy, gara-gara banyaknya warga yang nikah siri tanpa tercatat di desa atau KUA, garis keturunan pun kerap menjadi masalah. Ditengarai, banyak anak atau pemuda di desa dengan 2.476 KK itu yang memiliki ayah sama. “Masih dugaan, tetapi kemungkinan itu sangat besar,” jelasnya.
Peliknya lagi, urusan cerai di Setu Petok pun dilakukan dengan asal. Begitu kata cerai keluar dari suami atau istri dan mendapat persetujuan dari keluarga, pasangan tersebut bisa langsung pisah rumah. Setelah itu, dengan mudah pula pasangan tersebut menikah lagi secara siri.
Hal itu membuat pekerjaan rumah perangkat Desa Setu Patok makin menumpuk. Di satu sisi, mereka harus bisa mengedukasi warga untuk tidak lagi melakukan nikah siri. Di sisi lain, mereka juga mengkhawatirkan terjadinya pernikahan sedarah. “Karena kami tidak pernah tahu siapa ayah mereka. Bisa saja sama,” ujar Rudy.
Karena itu, perangkat desa mencoba menggulirkan program isbat nikah. Bukan menikahkan ulang dalam format nikah masal. Perangkat desa yakin, isbat atau penetapan dirasa lebih tepat karena sifatnya yang lekang oleh waktu. Artinya, meski mereka ditetapkan sebagai suami istri saat ini, pasangan tetap dicatat telah menikah sesuai dengan ikatan mereka.
Berbeda dengan menikah masal yang membuat mereka hanya tercatat telah menikah saat ini. Melalui isbat, perangkat desa berencana untuk melakukan pencarian jejak keturunan. Sebab, dalam prosesi isbat, pasangan dan para saksi akan dikumpulkan kembali. Mereka ditanyai berbagai hal, seperti apakah pernah menikah atau punya anak sebelumnya.
Isbat nikah sudah berlangsung sejak Senin (31/10). Saat itu ada 195 pasangan yang dinikahkan. Selanjutnya, desa tersebut juga melakukan isbat lagi untuk 204 pasangan. Untuk sisanya, belum diketahui dengan kapan bisa diisbatkan karena pemerintah desa kekurangan dana untuk membayar biaya administrasi.
Maklum, setiap pasangan dikenakan biaya Rp196 ribu untuk biaya panjar perkara Rp156 ribu dan alat tulis Rp40 ribu dan seluruh biaya ditanggung desa. Biaya itu didapatkan perangkat seperti kuwu dengan menyewakan tanah bengkok miliknya.
Selain itu, sejak 2005 pemerintah desa secara resmi juga sudah tidak lagi “merestui” pernikahan siri. Nikah tanpa pecatatan ke KUA hanya boleh dilakukan bagi pasangan yang “musibah” saja. Seperti suami yang diketahui memiliki istri lain di Desa Setupatok atau kasus hamil di luar nikah. “Biasanya, untuk menghindari konflik,” kata Yusuf kembali. (dim/c1/ttg)