I should like to be able to love my country and still love justice (Abraham Lincoln) NEGARA, bagi Lincoln, tidak memiliki tempat yang lebih tinggi daripada keadilan. Jikalau manusia memiliki benda bernama hukum, kata Victor Hugo yang seperti menyambung Lincoln, Tuhan memiliki benda yang lebih besar yang kita kenal dengan keadilan. Jikalau begitu, artinya, derajat keadilan di atas negara itu, adalah benar. Negara memiliki kuasa. Hukum meligitimasi. Hati nurani mencerna keadilan. Namun, kadangkala, negara berhenti sampai pada hukum dan tidak terlampau jauh untuk menakar keadilan. Dan negara, dengan kuasanya, memaksa hukum memenjarakan orang tanpa mencermati secara dalam sisi keadilan. Hal-hal seperti itu, seringkali kita saksikan di layar kaca, di media cetak dan bahkan di ruang-ruang tanpa berita. Nenek yang mencuri sebilah kayu, di penjara. Ibu yang memotong bambu, di penjara. Pejabat yang karena politik dipaksa dipersalahkan, dipenjara. Lalu kemudian, stigma penjara sebagai tempat orang ‘jahat’, muncul. Stigma tersebut, parahnya, mendahului naluri akan keadilan. Apakah memang benarnya begitu? Mari kita cermati fenomena tersebut melalui tiga film berbeda dengan latar dan tragedi berbeda. Di antara perbedaan tersebut, tema ketiga film itu tetap sama, yaitu dipenjarakan. DIPENJARA KARENA FITNAH Sudah kepalang takdir, siapa yang menaruh benci, maka tidak ada kebaikan terlihat sedikitpun dalam pandangan yang dibencinya itu. Begitulah kiranya. Adalah Five Minarets in New York, sebuah film hasil garapan kerjasama antara Turki dan Amerika Serikat, yang menceritakan hal tersebut. Meskipun adegan yang dimaksud amatlah secuil, film yang disutradarai Mahsun Kirmizigul ini cukup berhasil membawa emosi perihal ke-penjara-an. Firat, seorang polisi senior, meminta izin pergi ke New York untuk menangkap teroris bernama Hadji Gumus. Bersama Acar, Firat lantas berhasil membawa Gumus ke Turki untuk selanjutnya memenjarakan Gumus. Gumus pun, atas dasar hukum, dibawa ke sel selama beberapa hari. Film berlanjut, aneka macam kejadian pun di pertontonkan. Hingga akhirnya, kepala polisi Turki tahu bahwa Gumus hanyalah korban. Dia dipenjara karena fitnah. Dicarilah fakta selanjutnya menyoal mengapa Gumus diperlakukan tidak adil. Di akhir cerita, semua mata terbelalak, lelaki tua itu sempat mendekam di sel karena fitnah Firat. Firat tidak terima atas kematian ayahnya dan merasa Gumus perlu bertanggung jawab atas itu. Meskipun akhirnya Firat tahu bahwa dia keliru, apalah daya, lagi-lagi karena kurang hati-hati orang yang tidak bersalah di penjara. Gumus, karena perlakuan itu, dia tidak bisa menghadiri pernikahan anaknya. Gumus, akibat dipenjara, dia kehilangan waktu untuk menemui dan bersalam sapa dengan jamaahnya. Miris. DIPENJARA KARENA DIPAKSA MENGAKU SALAH Menyakitkan memang, ketika tahu bahwa kita benar tetapi posisi kita tidak lagi ada di dunia ini. Sebut saja, telah mati. Cerita tersebut memang sekadar film, namun bukan berarti tidak hadir atas inspirasi kejadian nyata. Seorang ayah, Lee Yong Go namanya, ingin sekali membelikan anaknya tas Sailor Moon. Tidak peduli, meskipun profesinya tukang parkir, Lee Yong Go akan berusaha demi membahagiakan Ye Sung anaknya. Selepas mendapat gaji. Lee Yong Go langsung terngiang anaknya. Dia sisihkan sebagian uang hasil keringatnya untuk sebuah tas Sailor Moon. Beruntunglah Lee Yong Go, seorang anak kecil bermurah hati ingin mengantarkan dia menuju toko yang menjual tas pesanan anaknya. Namun nahas, di tengah jalan, anak yang mengantarnya itu justru jatuh dan mati dijalan. Lee Yong Go bingung. Sebagai seorang yang tidak terlalu pandai, dia berusaha membuat nafas buatan agar anak yang mengantarnya itu dapat hidup kembali. Bukan kehidupan yang di dapat, Lee Yong Go justeru dituduh dan dipaksa mengaku telah memperkosa untuk lalu di penjara. Itulah, singkat cerita dari film Miracle In Cell No. 7 garapan sutradara Lee Hwan-kyung. Film yang berdurasi 127 menit itu belum selesai dan masih terus menampilkan peristiwa. Tibalah pada putusan hakim yang menyatakan bahwa “..Lee Yong Go, bersalah dan di hukum mati!!..”. Ye Sung, selaku anak Lee Yong Go yang masih TK, belum paham. Dia hanya tahu dari ayahnya bahwa “..ayah masih hidup tapi di dunia yang berbeda..”. Ye Sung pun beranjak dewasa. Sedikit-demi-sedikit dia mulai paham. Dia berjanji akan mengembalikan nama ayahnya. Lagi-lagi, sekalipun Ye Sung berhasil mengungkap fakta bahwa ayahnya tidak bersalah, tetapi Ye Sung tidak berhasil menghidupkan ayahnya lagi. Hanya tangis dan haru, atau mungkin juga kebanggan, bahwa “.ayah, meskipun engkau telah tiada, aku telah membuktikan bahwa kau bukan orang jahat..”. DIPENJARA KARENA POLITIK Penjarakan orang benar agar dia tidak mengganggu orang jahat. Keberanian orang benar menyakitkan hati orang jahat. Kiranya, itu terdengar layaiknya ungkapan klasik para penyamun-penyamun di padang pasir. Keluar dari gaya biasanya, Hanung Bramantyo membuat sebuah film bertema menguak ‘Siapa di atas Presiden?’. Film tersebut bercerita mengenai fenomena kekotoran politik yang menghalalkan segala cara untuk; mendzhalimi, menghancurkan dan membunuh kemerdekaan orang (lawan politik). Bagas Notolegowo, yang diperankan Roy Sahetapi, adalah kandidat kuat calon presiden. Entah karena apa, dia diundang ke sebuah apartemen oleh menteri keuangan. Kaget bukan kepalang, ketika dia sampai, menteri keuangan tersebut telah mati tak bernyawa. Polisi lalu hadir lebih cepat dari biasanya. Tanpa pikir panjang, melihat Bagas satu-satunya orang yang berada disitu, Bagas pun diseret ke penjara. Awalnya saksi, kemudian dicari bukti, Bagas yang tidak tahu menahu ditetapkan jua menjadi tersangka. Kejahatan politik pada saat itu menuai hasil. Sebabnya, otomatis, pencalonan Bagas pun berhasil di jegal. Lagi-lagi, meskipun kemudian Bagas dapat dibuktikan bahwa dia benar, tapi penjara telah menguras sanksi sosial terhadapnya. PENUTUP Percaya pada kekuasaan memang diwajibkan. Menaati hukum, pun rasanya perlu sebagai representasi kepercayaan cinta tersebut. Namun, yang tidak kalah penting, menggunakan hati dan nurani untuk sebuah keadilan lebih penting di atas segalanya. Dari tiga cerita tersebut, setidaknya kita mengetahui satu hal, penjara bukanlah selalu tempat orang-orang jahat. Penjara, terkadang, menjadi tempat orang-orang baik yang di-jahati. Sebut saja, Para Wali, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Vaclav Havel, Ghandi, dan lain sebagainya. Mereka adalah contohnya. Disitu bukti bahwa ada fitnah, ada kedzhaliman dan ada banyak kebohongan di balik kerasnya bilik penjara. *Penulis adalah Mahasiswa Kenotariatan UNDIP
Fakta Di Balik ’Pemenjaraan’
Rabu 13-05-2015,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :