KEJAKSAN - Aroma transaksional dalam proses pemilihan wakil walikota, mendapat perhatian serius mantan Wakil Walikota Dr H Agus Alwafier. Menurutnya, soal siapa yang akan menjabat E-2, sebenarnya merupakan otoritas walikota, sekalipun ada mekanirme tertentu terkait penjaringannya. Namun, pemilihan melalui DPRD, sangat rentan menjadi ajang tawar menawar dan menaikkan tarif harga wakil walikota secara terbuka. Apalagi saat ini, kata Alwafier, sudah tercium bau kasak kusuk bargaining, dan terdengar tarif wakil walikota. Meski demikian, Agus berharap rumor itu tidak benar. Tetapi dia khawatir, gaya transaksional itu sulit dihindarkan. “Untuk menghindari itu, sebenarnya bisa saja walikota tidak mengangkat wakil, toh masa kerjanya tinggal separuh waktu dan tak cukup waktu untuk melaksanakan pembangunan, melakukan perubahan Kota Cirebon yang saat ini stagnan. Nyaris tak ada peningkatan pembangunan dan program spektakuler yang dilakukan jauh ketinggalan dibanding daerah tetangga kanan kiri,” tandasnya kepada Radar, Minggu (31/5). Mantan ketua PD Muhammadiyah Kota Cirebon ini mengingatkan, dua setengah tahun waktu yang sangat. Untuk itu, paling tidak harus ada lima program monumental yang dilakukan Walikota Azis sampai akhir masa jabatan. Namun sejauh pantauannya, tidak ada gebrakan pembangunan, bahkan cenderung masa bodoh. Belum terlihat karya atau pikiran cermat untuk memajukan Cirebon, kecuali hanya sebatas rutinitas belaka. Anehnya lagi, DPRD juga ikut terjebak rutinitas. “Sebenarnya banyak program besar yang tertunda, misalnya pelebaran Jalan Cipto yang masih 65 persen lagi, jalan lingkar Harjamukti sebagai embrio pengembangan wilayah kota, lapangan Stadion Bima yang hancur dan menyedihkan. Pelabuhan yang nyaris tak berdaya. Itu semua sudah dimulai oleh pendahulu, kenapa jadi makin mundur dan tak berdaya?” tanyanya. BUMD yang semestinya menjadi penopang keuangan pemda, kata doktor jebolan Universitas Borobudur itu, justru mandul atau nyaris menjadi beban hanya dengan dalih pelestarian. “Nah, pada posisi itu, walikota dua setengah tahun harus menyentuh semua hal. Ini kesempatan jika dia sendiri tanpa wakil sangat leluasa dan elegan mengatur dan memimpin daerah. Kalau menunggu pengangkatan wakil, sudah habis waktu dan menunggu penyesuaian. Belum dampak krisis suasana politik pasca pemilihan wakil walikota,” tegasnya. Terpisah, Ketua Bappilu DPC Partai Demokrat Kota Cirebon, Achmad Sofyan kembali mengingatkan walikota untuk tidak mengusulkan calon wakil walikota dari politisi. Sofyan beralasan, resistensi walikota mengusulkan nama politisi sebagai calon wakil walikota justru sangat besar. Karena tidak ada jaminan hubungan walikota terpilih dengan walikota, tiga tahun mendatang akan berlanjut hingga 2018 mendatang. Karena tidak ada teman yang abadi dalam politik, yang ada justru hanya kepentingan yang abadi. Sofyan bahkan sudah menyarankan kepada walikota yang juga ketua DPC Partai Demokrat itu, untuk mengusulkan nama calon wakil walikota dari luar partai politik. Justru dengan calon yang bukan dari parpol, lebih menguntungkan walikota karena resistensinya sangat kecil dan peluang untuk mencalonkan kembali di 2018 lebih besar. “Kalau ingin aman, pilihlah non politisi. Kalau tetap dari politisi jangan harap akan aman posisi pada pilwalkot mendatang,” kata Sofyan. (abd)
Pemilihan Wawali Ajang Tawar-menawar
Senin 01-06-2015,12:49 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :