Terkait Kriminalisasi Pengguna Anggaran JAKARTA- Salah satu prioritas pemerintah saat ini adalah percepatan pembangunan infrastruktur. Presiden Jokowi memberikan perhatian terhadap para pejabat yang bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA) maupun Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam sejumlah proyek. Supaya tidak mudah diperkarakan, presiden berencana mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres). Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menuturkan bahwa presiden menginstruksikan pembuatan Instruksi Presiden (Inpres) untuk melindungi pejabat negara bidang infrastruktur dari tindakan kriminalisasi. “Iya itu (inpres) untuk kepastian hukum. Itu menjadi concern bapak Presiden. Makanya waktu itu pernah dikumpulkan Kapolda, Kajati, kemudian ada juga laporan dari bupati/walikota masuk. Tapi rupanya nggak cukup arahan, makanya dibuat tertulis (Inpres),” papar Andrinof saat ditemui di kantornya, kemarin (11/6). Menurut Andrinof, saat ini draft Inpres tersebut belum selesai disusun. Menurut dia, setelah rampung, draft tersebut masih akan dibahas dalam rapat terbatas dengan Presiden. “Belum. Masih disusun, nanti di ratas dibahas lagi,” tuturnya. Andrinof menekankan, inpres tersebut dibuat agar para pejabat di kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan bidang infrastruktur, mampu mengambil kebijakan untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur, tanpa merasa was-was, bakal dikriminalisasi. Selama ini, realisasi pembangunan proyek infrastruktur berjalan lamban karena para pejabat terkait tidak berani mengambil keputusan. Mereka khawatir, kebijakan tersebut dikriminalisasi oknum-oknum penegak hukum. “Jangan sampai kebijakan dikriminalisasi atau dijadikan komoditas oknum penegak hukum,” tegasnya. Sebagai informasi, sejumlah poin penting yang akan masuk dalam inpres tersebut antara lain adanya proses penunjukan langsung kepada salah satu perusahaan BUMN, tanpa harus menunggu Perpres terlebih dahulu. Sebab, proses Perpres bisa memakan waktu lama, hingga berbulan-bulan. Seperti diberitakan sebelumnya, penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta selaku KPA memunculkan efek domino. Menteri ESDM Sudirman Said yang saat ini dibebani realisasi pembangkit listrik 35 ribu MW ikut waswas. Sebab, dia juga memberikan berbagai terobosan. “Akan berusaha mencari payung hukum, dan komunikasi dengan penegak hukum. Supaya tidak jadi masalah di belakang,” tuturnya. Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan, inpres tersebut bisa diperlukan. Tapi, tidak hanya terkait dengan kelistrikan yang punya banyak proyek dan butuh terobosan. Meski, proyek 35 ribu MW memang butuh perhatian karena terkait dengan beberapa sektor. “Ada kaitannya dengan tanah, atau juga kehutanan misalnya,” ucap Jarman di komplek DPR. Inpres tersebut bisa memperkuat posisi pejabat yang sedang menggarap mega proyek itu. Meski Jarman yakin, selama ini proyek kelistrikan selalu dilakukan dengan hati-hati. Kalau ada terobosan, selalu ada kaitannya dengan aturan yang lain. Jadi, kecil kemungkinan ada terobosan yang melanggar hukum. Dia lantas menyebut Permen ESDM 3/2015 yang berdasar pada PP 23/2014 terkait penunjukan langsung. “Kalau (inpres) sesuatu bersifat positif, kenapa tidak,” tambahnya. Terpisah, ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin menilai secara substansi, inpres seharusnya tidak dibatasi pada area infrasturktur saja. Menurut dia, ada kebutuhan yang juga mendesak di banyak wilayah penyelenggaraan negara lainnya saat ini. “Kasus Dahlan Iskan terakhir patut jadi perhatian, kasihan orang seperti dia,” kata Irman, saat dihubungi, kemarin. Dia menegaskan, kasus yang dihadapi mantan menteri BUMN dan dirut PLN itu sangat berbahaya bagi sistem ketatanegaraan. Para penyelenggara negara bisa dibuat semakin takut untuk melangkah dengan munculnya kasus yang menyeret Dahlan tersebut. Ujung-ujungnya pemerintahan bisa menjadi tidak jalan karenanya. “Oleh sebab itu pula, ini nanti juga jangan cuma inpres,” tegasnya. Menurut Irman, Presiden Joko Widodo dan DPR harus duduk bersama untuk menyusun langkah-langkah penyelamatan sistem ketatanegaraan. “Undang-undang tipikor (tindak pidana korupsi, red) harus dirubah, karena sekali lagi kasus Dahlan Iskan itu berbahaya bagi sistem ketatanegaraan,” tuturnya, lagi. Dari sisi ketatanegaraan, inpres bukanlah bentuk peraturan perundang-undangan seperti halnya UU, peraturan pemerintah (PP), ataupun peraturan presiden (perpres). Inpres tidak lebih dari perintah presiden kepada bawahannya. “Karena hal itu pula lah tidak akan banyak artinya kalau hanya inpres, apalagi dibatasi hanya untuk infrastruktur,” tandas Irman. Sementara, Pimpinan KPK Johan Budi mengatakan inpres yang kini tengah digodok itu tidak berpotensi menghalangi pemberantasan korupsi. “Kalau saya melihatnya, inpres itu bukan bertujuan melindungi pejabat yang korupsi,” kata Johan. Dia mengatakan penetapan pejabat sebagai tersangka kasus proyek infrastruktur tetap harus memenuhi unsur pidana. Misalnya unsur penyalagunaan wewenang, menguntungkan diri sendiri, orang lain dan korporasi atau terjadinya kerugian negara atau tidak. (ken/dim/dyn/gun)
Tidak Cukup Arahan, Dibuat Tertulis
Jumat 12-06-2015,09:44 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :