Produktivitas Perikanan Masih Rendah

Senin 03-08-2015,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Dorong KKP Percepat Analisis dan Evaluasi Kapal JAKARTA - Fasilitas pengu­rangan bea masuk ke pasar Amerika Serikat menjadi sebuah titik terang bagi devisa negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun optimis ekspor semester II ini akan naik. Sayangnya, hal tersebut tidak didukung dengan keadaan industri perikanan dalam negeri. “Ini sangat menjadi kesempatan bagi para eksportir, namun produktivitas industri kita masih sangatlah rendah,” jelas Ketua Komite Tetap Industri Pengolahan Makanan dan Minuman Kamar Dagang dan Industri Indonesia Thomas Darmawan di Jakarta. Melalui fasilitas pengurangan bea masuk ke pasar Amerika Serikat yang memiliki tarif 0 persen ini, menjadi sebuah sarana dalam peningkatan ekspor. Yakni, optimis naik dari USD 1,8 miliar menjadi USD 2,4 miliar. Tak hanya itu, KKP pun berjanji juga akan melebarkan sayapnya agar pasar Eropa juga melakukan hal yang sama. Di sisi lain, berdasarkan skema Generalized System of Preference (GSP) hanya beberapa komoditas perikanan saja yang mendapatkan pembebasan bea masuk. Yakni, kepiting beku, ikan sardin, daging kodok, ikan kaleng dan lobster olahan. “Seperti kerapu, kakap, octopus yang banyak diproduksi di Indonesia tidak ada. Kebanyakan juga adalah olahan. Padahal produk olahan kita masih sangat minim,” jelas Thomas yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia. Saat ini seluruh Indonesia terdapat 60.163 unit pengolahan ikan (UPI). Namun hanya sekitar 1.524 yang berfungsi sebagai lokasi pengolahan ikan. Kebanyakan hanya sebatas untuk penyimpanan saja, tidak untuk diolah. Tak hanya itu, komoditas yang tercantum juga perlu membutuhkan kapal besar untuk dapat menangkapnya. Padahal, banyak kapal di Indonesia yang masih terkena moratorium hingga Oktober mendatang. Sampai kemarin, pengumu­man hasil analisis dan evaluasi (anev) sudah pada tahap jilid III. “Untuk jilid III ini ada 32 perusahaan yang diumumkan nanti,” jelas Ketua Satgas Anti Illegal Fishing Mas Achmad Santosa. Anev ini nantinya akan terdapat 4 jilid. Sampai kemarin, total kapal eks asing yang dianev sebanyak 1.132 kapal dari 187 perusahaan. “Kebijakan moratorium tersebut baik, begitu juga dengan adanya fasilitas tersebut. Namun, momen ini harus dimanfaatkan KKP untuk segera memberikan hasil anev yang hingga saat ini belum juga tuntas,” ungkap Thomas. Menurutnya, ada tiga langkah yang harus segera dilakukan oleh KKP untuk memanfaatkan momen ini yang akan berakhir pada 31 Desember 2017 ini. Yakni, bertindak secara lebih cepat untuk kapal legal setelah dievaluasi oleh tim satgas. Sehingga dapat beroperasi untuk dapat mengisi ekspor. Kedua, terkait masalah cantrang perlu adanya sebuah solusi secara lebih konkret. Masih banyak nelayan yang tidak mau menggunakan fasilitas yang ditawarkan. Misalnya, dipindah ke wilayah timur. Ketiga, pengurangan keramba yang hanya sisa 20 persen harus ada sebuah solusi. “Lebih baik para petambak dipindah ke Pantura, sehingga ekspor tidak menurun drastic,” tandasnya. Untuk wilayah Pantura, para petambak dapat melakukan mix and match budidaya rumput laut, udang dan bandeng. “Ikan laut per tahunnya biasanya naik hanya 1 juta ton saja, namun kalau budidaya bisa hingga dua kali lipat,” jelasnya. Tak hanya itu, beberapa ajungan perminyakan lepas pantai juga dapat difungsikan sebagai wilayah baru.”Sekitar ada 40 anjungan, dalam radius 1 km itu bisa dibuat perambahan pajan dan keramba apung untuk ikan bandeng, kakap, kerapu dan bawal,” terangnya. Potensi tersebut yang memang diminati oleh pasar Amerika. “ikan laut bisa dibudidaya di laut sendiri, karena kalau mau mengejar galangan kapal kita masih sangat minim,” pungkasnya. (lus)

Tags :
Kategori :

Terkait