Indonesia memang sudah merdeka sejak tahun 1945. Bahkan, usianya kini sudah memasuki 70 tahun. Harapan dan cita-cita para pendiri bangsa yang menginginkan rakyat Indonesia sejahtera dan terbebas dari segala bentuk intervensi negara lain, masih jauh dari kenyataan. Justru dari hari ke hari, masyarakat dijejali harga-harga yang makin mahal, minimnya lapangan kerja, sehingga terasa sangat sulit mencari sesuap nasi.
KEMERDEKAAN tidak didapatkan secara mudah dan bukanlah hasil hadiah pemberian bangsa lain. Tetapi, melalui perjuangan panjang dan memakan banyak korban. Namun sayangnya, kemerdekaan Indonesia tidak begitu dirasakan masyarakat kelas bawah.
Kesenjangan sosial terjadi di mana-mana. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah merusak kelangsungan hidup bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial. Padahal, di dalam butir kelima Pancasila menyebutkan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sigit (31), salah seorang pengamen di Jl By Pass Kota Cirebon mengatakan, Indonesia memang sudah merdeka sejak 1945 tahun yang lalu. Tapi, kemerdekaan itu belum dapat dirasakan betul oleh masyarakat. Sebab, pemerintah belum terlihat peduli dan memikirkan warga yang hidup di jalanan. “Saya akui Indonesia memang sudah merdeka. Tapi, pada hakikatnya Indonesia belum merdeka. Karena pemerintah belum bisa menyejahterahkan masyarakatnya,” ujar Sigit kepada Radar, Senin (17/8).
Dia mengaku, untuk mencari makan saja begitu sulit. Apalagi, harga-harga makin hari semakin melambung tinggi. “Lantas apa ini yang disebut merdeka? Sebetulnya Indonesia itu masih dijajah negara luar, seperti banyaknya barang impor makanan, minuman, sampai barang-barang rakitan luar negeri,” bebernya.
Tidak hanya itu, aksi pornografi dan porno aksi lewat jejaring sosial. Sehingga moral bangsa Indonesia secara tidak langsung digerogoti oleh asing.
“Sebetulnya Indonesia itu kaya akan potensi. Tapi, potensi tersebut justru dirusak bangsanya sendiri. Kita melupakan potensi itu. Ini sangat miris. Generasi muda kita juga telah dirusak. Dengan berbagai cara, narkoba, aksi pornografi melanda kaum muda kita,” ungkapnya.
Pria asal Desa Bakung, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon itu mengungkapkan, bangsa Indonesia sepertinya menjadi pengemis di negeri sendiri. Banyak fakir miskin, jompo, dan anak-anak jalanan yang telantar, tapi pemerintah hanya bisa diam dan membisu. “Sama saja menyengsarakan rakyatnya sendiri. Orang-orang yang ingin mengenyam pendidikan justru dibenturkan dengan mahalnya biaya pendidikan, termasuk biaya kesehatan,” imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Bisma (14). Anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen itu mengatakan, Indonesia belum dikatakan merdeka. Alasannya, masih banyak anak seusianya tidak bisa bersekolah. Bahkan banyak yang terjun ke jalan untuk mengais rezeki dengan cara mengamen.
“Biar orang-orang menyebutnya Indonesia sudah merdeka selama 70 tahun, tapi tidak bagi saya. Masih banyak orang-orang miskin yang hidupnya susah. Indonesia saat ini sedang terpuruk. Nilai rupiah terus ditekan sama dolar,” kata dia sambil memainkan gitarnya.
Dia mengungkapkan, yang namanya merdeka itu tidak ada ketergantungan hidup atau membebani orang lain. Artinya, semua hidup tanpa ada rasa susah. Faktanya, untuk mencari makan sehari-hari saja sangat sulit. “Hidup di negeri sendiri yang sudah merdeka, tapi serasa masih dijajah oleh bangsa kita sendiri,” tukasnya.
Tidak hanya para anak jalanan yang merasakan bahwa kemerdekaan Indonesia ini tanpa arti. Buruh kuli panggul sayuran di pasar darurat Jagasatru Kota Cirebon pun mengungkapkan hal serupa. Dia mengatakan, tidak ada kata merdeka selagi rakyatnya masih sengsara dan menderita. Dirinya sudah bosan dengan sikap pemerintah yang berbicara soal kemerdekaan, padahal banyak rakyat yang tenggelam dalam kesusahan.
“Semua penguasa (presiden, red) sejak zamannya presiden Habibie sampai Jokowi kondisi ekonomi terus terpuruk. Rakyat susah dan selalu menderita. Masih mending kita berada di zamannya Presiden Soeharto, semuanya serba murah dan masyarakat pun tidak mengeluh kesusahan seperti sekarang ini,” ungkap Husen (38).
Para buruh, seperti dirinya, yang hanya memperoleh penghasilan tidak seberapa, dihantam dengan harga-harga di pasaran yang melambung tinggi. Alhasil, masyarakat yang dikorbankan. “Harusnya pemerintah bisa mengatasi persoalan ekonomi dengan berbagai cara. Karena yang penting bagi kami adalah masyarakat kita bisa hidup subur dan makmur. Memang kita ini sudah merdeka. Tapi, dalam menjalani hidup ini semakin sulit, biaya untuk makan sehari-hari saja sulitnya minta ampun, bahkan bisa dibilang penghasilan buruh tidak mencukupi dalam satu hari,” ucapnya.
Pria kelahiran Kabupaten Kuningan ini mengaku, penghasilan buruh paling besar Rp50 ribu perhari. Uang segitu, di zaman sekarang sudah tidak ada apa-apanya. Terbayang, semua harga terus mengalami kenaikan.
“Kita kerja seharian hanya dapat Rp50 ribu, itu pun kerjanya ngangkutin sayuran yang beratnya satu kuintal, sementara satu kuintalnya dihargai Rp2.500. Kerjaan berat, tapi upahnya tidak seberapa. Apa ini yang disebut merdeka?” tanya dia.
Mencari pekerjaan saat ini, lanjutnya, sangat sulit. Apalagi mencari nafkah untuk membiayai hidup keluarga. “Memang kita merdeka. Tapi, merdeka yang sia-sia dan hidup kita justru lebih sulit. Sebetulnya kita ini masih dijajah negara lain dengan cara yang halus. Sayangnya, kita tidak pernah menyadari hal itu,” keluhnya.
Terpisah, Hamid (46) salah seorang tukang parkir di Jalan Tentara Pelajar Kota Cirebon juga mengaku masih hidup kesusahan di momen Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 RI.
“Saya markirin dari zamannya Baraja Coffe belum ada, ya sekitar tujuh tahunan lalu, sampe ulang tahun Indonesia ke-70. Saya masih gini-gini aja, susah cari kerjaan, padahal sudah ke sana ke mari tapi tetep aja gak dapat,” katanya.
Hamid berharap, di Hari Jadi Indonesia yang sekarang, dirinya bisa “merdeka” dari keadaan yang dialaminya saat ini, dan berharap kepada Pemerintah Kota Cirebon lebih peduli terhadap “orang kecil”.
“Ya saya berharap di ulang tahun Indonesia sekarang, kehidupan saya lebih baik. Tidak seperti sekarang makin susah cari makan,” pungkasnya. (sam/imi)