Desak Gelar Survei Kebutuhan
JAKARTA-Koalisi LSM anti Mafia Anggaran mendorong model penganggaran DPR yang lebih transparan. Ini sebagai respons mencuatnya sejumlah proyek kontroversial di gedung DPR. Sebut saja renovasi toilet Rp2 miliar dan renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) yang menyedot dana sampai lebih dari Rp20 miliar.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, beragam sarana dan perangkat pendukung yang diperlukan oleh DPR harus didahului dengan kajian komprehensif. Misal, dalam bentuk survei kebutuhan. Semua pengadaan berangkat dari kesimpulan dan penilaian akhir kajian.
“Hasil dari survei kebutuhan harus dikomunikasikan secara masif kepada publik dalam satu paket setiap awal tahun,” kata Ronald dalam pernyataan persnya di Kantor ICW, Jakarta Selatan, kemarin (15/1).
Rencana anggaran yang dilakukan BURT juga masih terbuka peluang lebar untuk dibatalkan. Ronald mengutip pasal 30 ayat (1) huruf j Tata Tertib yang menyebutkan, bahwa pimpinan DPR bertugas menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna.
“Muncul peluang dari ketentuan ini, karena berarti rencana anggaran DPR tidak disahkan melalui forum rapat-rapat BURT, melainkan rapat paripurna,” tegas Ronald. Aturan ini, imbuh dia, memang sengaja mendorong supaya rencana anggaran DPR mendapatkan perhatian dan pertimbangan dari anggota DPR lainnya di luar anggota BURT.
Selain itu, lanjut Ronald, mekanisme kerja BURT dan relasinya dengan Setjen DPR juga mendesak untuk diperbaiki. Apalagi, muncul fenomena Ketua BURT sekaligus Ketua DPR Marzuki Alie yang menyalahkan Sekjen DPR Nining Indra Saleh atas beragam proyek kontroversi itu. Bahkan, Marzuki mengeluarkan telah surat peringatan (SP) kepada Nining. “Upaya pembenahan selama ini belum pernah atau maksimal dijalankan,” kata Ronald.
Peneliti bidang korupsi politik ICW, Apung Widadi mengatakan, renovasi ruang Banggar dengan penambahan kursi dan dinding kedap suara sebenarnya tidak perlu. Ruang yang ada masih layak pakai. “Kalaupun direnovasi seharusnya ruangan Banggar menjadi lebih terbuka agar mudah dipantau masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, anggaran Rp20 miliar juga terlalu berlebihan untuk merenovasi ruangan rapat dengan kapasistas 84-100 orang. “Perkiraan kami hanya maksimal Rp500 juta. Dana Rp20 miliar seharusnya cukup untuk merenovasi sejumlah ruangan yang perlu perbaikan, bukan satu ruangan Banggar saja,” kritik Apung.
Renovasi toilet yang mencapai Rp2 miliar juga terkesan pemborosan. Uang senilai Rp2 miliar sebenarnya mampu untuk membuat 174 MCK di kampung miskin. “Yang perlu diperhatikan sesungguhnya adalah perawatan kebersihan toilet, dimana setiap tahun untuk jasa cleaning service mencapai Rp15 miliar,” katanya.
Kinerja Setjen DPR yang tertutup dan tidak transparan, menurut dia, menjadi pemicu munculnya “proyek-proyek siluman”. Sebelumnya, Setjen DPR juga melakukan tender penggantian Cubicle PGDB/PGC DPR senilai Rp4,3 miliar (Oktober 2011), tender pengadaan mesin fotocopy berkecepatan tinggi senilai Rp5,7 miliar (Oktober 2011), dan tender kontrak servis komplek rumah jabatan anggota DPR di Kalibata senilai Rp36,6 miliar (5-13 Desember 2011).
Dalam proses lelang, banyak pemberitaan prosedur lelang sampai dengan pemenang proyek yang tidak disampaikan kepada publik lewat website LPSE DPR RI. Padahal, proses tender yang tidak diketahui prosesnya dari bulan oktober 2011 sampai sekarang mencapai 50 tender.
“Ketidaktransparanan ini sangat lekat dengan indikasi permainan proyek dan korupsi di Setjen itu sendiri,” kata Apung.
Sayangnya, imbuh dia, pekerjaan Setjen yang tidak transparan itu tidak diawasi oleh pimpinan DPR. Sehingga Setjen menjadi liar dalam pengalokasian anggaran. “Tidak adanya pengawasan terhadap Setjen ini sebenarnnya merupakan kelalaian pimpinan DPR,” tegasnya.
Koalisi LSM meminta BPK segera mengaudit seluruh “proyek siluman” di DPR. Di jalur yang lain, KPK juga harus mengusut adanya dugaan korupsi dalam proyek-proyek di DPR. BURT dan Setjen DPR tak luput didorong melakukan perbaikan dalam setiap aktivitas penganggaran.
“Selama BURT dan Setjen DPR memperbaiki kinerja tersebut, semua proyek di DPR dihentikkan untuk sementara waktu, atau dengan kata lain moratorium,” tandas Apung. (pri)