Hanoman Terbang, Harus Nyanyi Tembang Khusus

Kamis 27-08-2015,13:51 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Saat Asosiasi Seni Boneka Asia Tenggara Pentaskan Ramayana Tantangan terbesar adalah menyintesiskan beragam versi Ramayana dari berbagai latar budaya. Mitra dari Jepang diakomodasi sebagai Rahwana yang tengah menyamar. MOCHAMAD SALSABYL, Jakarta LAMPU sorot meredup, memberikan sedikit kesan misterius. Masuklah tiga orang ke panggung dengan sepasang boneka dan sebuah wayang. Dengan gemulai, sepasang boneka itu bergerak anggun tanpa narasi. Yang terdengar dari atas panggung di ASEAN Hall, Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Jumat dua pekan lalu (14/8) itu hanya iringan musik gamelan Jawa. Meski demikian, tak diperlukan waktu lama untuk menebak siapakah karakter dari dua boneka yang dimainkan ibu dan anak asal Filipina Amihan serta Roel Ramolete tersebut. Ya, merekalah pemeran utama dalam drama Ramayana Ini: Rama dan Sinta. Sedangkan wayang yang mengikutinya adalah adik Rama dari ibu yang berbeda, Laksmana. Cerita selanjutnya pun langsung mengalir dan tecerna meski tak ada penjelasan. Dari 27 menit pementasan untuk merayakan Hari Jadi Ke-48 ASEAN itu, kata yang jelas terdengar hanya pemeran wayang orang Rahwana yang meneriakkan Sinta!. Meski hanya mengandalkan bahasa tubuh, para seniman anggota ASEAN Puppetry Association (APA) alias Asosiasi Seni Boneka Asia Tenggara tersebut berhasil membuat penonton terhanyut dan tergelak. Misalnya saat adegan pertarungan antara Jatayu, burung suci sahabat Rama, dan Rahwana yang sedang memboyong Sinta ke Kerajaan Alengka. Pada adegan itu, Jatayu diperankan wayang orang Kamboja. Sedangkan Rahwana diperankan wayang orang Indonesia. Namun, sinergi yang dipancarkan saat Jatayu akhirnya ditebas Rahwana begitu mulus. Tidak hanya dalam gerak boneka, tapi juga aksi wayang dan orangnya. Setiap karakter hadir dalam bentuk yang berbeda-beda. Sinta misalnya. Selain diperankan dalam bentuk boneka khas Teatrong Mulat dari Filipina, karakter tersebut dimainkan dalam bentuk wayang orang Indonesia. Menurut Santi Dwisaputri yang memerankan Sinta dalam format wayang orang, APA memang sengaja ingin menonjolkan program ASEAN Puppetry Exchange dalam pentas itu. Untuk menguatkan persaudaraan ASEAN secara budaya. “Jadi, orang Filipina pun ikut memainkan wayang Indonesia,” katanya. APA tercetus atas inisiatif Sena Wangi (Sekretariat Wayang Indonesia) dan beberapa lembaga kebudayaan di Indonesia. Awalnya para seniman boneka dan wayang tersebut hanya bertemu pada rapat inaugural di Jakarta untuk menampilkan seni tradisional masing-masing. Akhirnya APA resmi terbentuk pada 1 Desember 2006. Yang menahbiskan adalah Wakil Presiden (kala itu) Jusuf Kalla. Sejak saat itu asosiasi tersebut berkiprah dalam saling tukar informasi budaya yang berafiliasi dengan berbagai organisasi seni boneka masing-masing negara. Satu tahun kemudian, persisnya 7 September 2007, rapat tahunan APA pun diadakan di Palembang, Indonesia. Saat ini presidium chairman APA dipegang Danillo Liwanang dari Filipina. “Dari awalnya hanya berkoordinasi, kami akhirnya mempunyai program exchange yang mempertemukan kedua negara dalam asosiasi tahun lalu. Program pertukaran itu pun berkembang menjadi pementasan bersama,” ujar Sekretaris Jenderal APA Suparmin Sunjoyo. Ramayana sengaja dipilih karena epos dari India tersebut bisa ditemukan dalam beragam budaya di kawasan Asia Tenggara. Di khazanah sastra Jawa, misalnya, ada Kakawin Ramayana. Sedangkan di bahasa Melayu bisa didapati Hikayat Seri Rama. Versi paling dikenal, ringkasnya, bercerita tentang penculikan Sinta oleh Rahwana. Rahwana mengamuk ke Ayodhya, mencari Rama dan Laksmana yang telah menghajar Surpanaka. Karena tak menemukan keduanya, dengan tipu muslihat dia membawa paksa Sinta ke Alengka yang pada akhirnya memicu pertempuran kedua pihak. Tantangannya tentu menggabungkan beragam versi Ramayana dari berbagai latar budaya itu. Setiap budaya punya pakem-pakem tersendiri dalam menceritakan legenda dari India yang berpusar pada penculikan Sinta oleh Rahwana tersebut. Dalam masa persiapan yang tak sampai satu minggu, para penampil yang berasal dari Indonesia, Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Jepang sebagai negara mitra harus bekerja keras menyintesiskan ide. Mereka harus melepas patron-patron masing-masing dan mencari titik tengah. ”Karena akarnya sama, cerita Ramayana, akhirnya bisa ketemu juga,” ucap Amihan yang bersama Santi dan Terrence Tan dari Singapura merancang pementasan tersebut. Salah satu contoh jalan tengah itu ada dalam adegan Hanoman terbang yang diwakili perubahan dari orang menjadi wayang khas Kamboja. Dalam adegan tersebut, penampil Kamboja harus menyanyikan tembang khusus. Sebab, Hanoman, si kera putih yang membantu Rama menyerbu Alengka, adalah tokoh yang sakral di Kamboja. “Jadi, memang kami akomodasi agar penampil bisa menyanyikan tembang itu,” ungkap Santi yang juga tergabung dalam organisasi wayang Indonesia Sena Wangi. Jalan tengah seperti itu pula yang membuat Shoko Yamasaki bisa ikut berpentas. Padahal, seniman boneka dari Jepang tersebut sama sekali tak tahu tentang kisah gubahan Walmiki itu. Setelah berdiskusi, para penampil lain akhirnya sepakat memberi Yamasaki peran sebagai wujud Rahwana yang sedang menyamar sebagai brahmana tua untuk memancing Sinta. Yamasaki pun berpentas dengan membawa boneka khas Jepang Kuruma Ningyo. “Selain itu, dia mengambil peran lain, misalnya sebagai pengawal Sinta saat masih di Kerajaan Alengka,” terang Santi yang juga akrab disapa Santi Tejo. Dengan segala keterbatasan, persiapan terbatas dan kompromi di sana-sini, APA berhasil menggelar pentas yang bisa dinikmati secara universal. Di mata Terrence Tan, keberhasilan tersebut menjadi batu loncatan untuk membawa seni wayang dan boneka Asia Tenggara ke tingkat selanjutnya. Keberhasilan itu sebenarnya juga sudah terlihat dalam Water of ASEAN yang dipentaskan sebelum Ramayana. Berdurasi sepuluh menit, para pelaku seni wayang dan boneka dari sepuluh negara anggota ASEAN memamerkan warisan budaya masing-masing dengan satu tema: air. Menurut Tan, pesan dalam pentas tersebut gampang ditangkap karena air adalah simbol yang paling cocok untuk menggambarkan wilayah Asia Tenggara. Air sekaligus menjadi penyambung antarnegara di ASEAN. Eratnya kesepuluh negara ASEAN bergandengan tangan seperti terlihat dalam Water of ASEAN itu adalah sebuah kemajuan berarti. Sebab, dulu, pada awal masa pembentukan, para seniman boneka Brunei Darussalam sempat menolak saat para koleganya dari Indonesia hendak memperkenalkan wayang. “Mereka mengira ini adalah produk Hindu yang tak cocok dengan prinsip mereka sebagai Melayu Islam Beraja (MIB). Tapi, akhirnya mereka juga ikut pementasan tahun ini,” terang Suparmin. Dia berharap generasi muda bisa menjadi penerus estafet pelestarian budaya seni boneka. “Banyak penampil di pentas kali ini adalah orang muda. Merekalah yang bisa menyelaraskan seni dengan perkembangan zaman,” tuturnya. (*/c9/ttg)

Tags :
Kategori :

Terkait