Benda pusaka tidak hanya identik dari sisi keramat. Tapi juga memiliki nilai sejarah. Hal ini penting diketahui generasi muda, sebagai bukti sejarah dan perjuangan masa silam. Kini, keberadaan benda-benda pusaka kuno itu sebagian ada yang tersimpan dan terjaga di keraton-keraton.
SEBAGIAN besar pusaka itu sudah menjadi warisan leluhur secara turun-temurun. Di Cirebon, terdapat empat keraton yang masing-masing memiliki pusaka tersendiri. Tak semua keraton memiliki museum yang memadai untuk menyimpan benda pusaka tersebut. Padahal, jumlah benda pusaka sangat banyak, mulai dari yang memiliki nilai historis tinggi hingga senjata-senjata perang yang digunakan para prajurit.
Humas Keraton Kaprabonan, Pangeran Haerudin Kaprabonan mengatakan, di Keraton Kaprabonan, ada beberapa pusaka kuno yang tidak dimiliki oleh keraton lain. Salah satunya pusaka yang paling kuno itu ialah Keris Ki Jimat Tunggul Manik. Konon sejarahnya, ini merupakan keris pertama Sunan Gunung Djati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Pusaka ini diberikan saat Sunan Gunung Djati ingin kembali ke Cirebon mengikuti jejak ibundanya, Nyi Mas Rara Santang yang menikah dengan Raja Mesir.
\"Tujuannya, bilamana nanti Sunan Gunung Djati tiba di tanah Jawa, bisa dikenali oleh Mbah Kuwu atau Pangeran Walangsungsang yang tak lain kakak dari Nyi Mas Rara Santang,\" tutur Pangeran Haerudin saat ditemui Radar, kemarin. Keris itu juga, kata dia, sebagai perlambang peralihan kekuasaan dari Mbah Kuwu Cirebon kepada Sunan Gunung Djati.
Kemudian dengan keris itu, secara turun-temurun dipakai setiap kali pergantian sultan. Lalu kenapa keris itu berada di Keraton Kaprabonan? Ceritanya saat pecah antara Kasepuhan dan Kanoman. Lalu Keraton Kanoman pecah lagi menjadi Kacirebonan dan Kaprabonan. Sultan Badrudin yang saat itu menjadi Sultan Kanoman, memiliki putera mahkota dari permaisuri bernama Pangeran Adipati Keprabonan. Keris itulah yang kemudian diserahkan kepadanya hingga sekarang masih tersimpan utuh di Keraton Kaprabonan.
Ada lagi pusaka pedang Ki Kambang. Dinamakan Ki Kambang karena saat ditemukan, pusaka ini mengambang di atas sungai. Sejarahnya, pada waktu Sunan Gunung Djati tafakur di pinggir kali untuk mendapatkan petunjuk menundukkan Raja Galuh, lalu datang seekor ular berupa pedang.
Pedang Ki Kambang ini kemudian diserahkan kepada Syekh Magelung Sakti untuk memimpin perang dengan Raja Galuh. Selain pedang Ki Kambang, ada pula pedang Ki Jagasatru. Sejarahnya, pedang ini digunakan oleh panglima yang mengamankan wilayah. Ada kisah unik mengenai Pedang Ki Jagasatru. Pedang ini pernah menghilang dan dicuri pada tahun 2012.
Setelah tiga bulan menghilang, tim buser dari kepolisian akhirnya menemukannya. Saat dibawa dalam perjalanan dari Jakarta, anehnya mobil yang membawa pedang tersebut selalu kempes hingga berulang-ulang kali. \"Ini mungkin ada daya magisnya dari benda pusaka,\" ujar Pangeran menambahkan.
Adapula tusuk konde Nyi Mas Ganda Sari, yang tersimpan di dalam lemari besi di Keraton Kaprabonan. Tusuk konde inilah yang digunakan Nyi Mas Ganda Sari untuk menaklukan Raja Galuh. Sebagian besar pusaka tersebut baru dikeluarkan dan dibersihkan saat akan dilakukan tradisi panjang jimat, setiap bulan Mulud.
Sementara di Keraton Kacirebonan, yang dibangun pada tahun 1808, terdapat lebih dari ratusan benda pusaka yang saat ini berada di dalam Keraton Kacirebonan. Benda pusaka di Keraton Kacirebonan lebih tertata rapih. Umumnya, benda pusaka tersebut sudah dilindungi dengan lemari kaca, sehingga para wisawatan bisa lebih leluasa melihatnya.
Ketua Kelompok Pengembang Pariwisata (Kompepar) Keraton Kacirebonan, R Agus Zulkarnaen mengatakan, salah satu pusaka yang paling berharga itu ialah Pedang William dan Pedang Padjadjaran. Pedang William merupakan cenderamata yang diberikan kepada Sultan Kacirebonan sebagai pengangkatan.
Sementara Pedang Padjadjaran menandakan Kesultanan Kacirebonan memiliki ikatan masa lalu dengan Kerajaan Padjadjaran. Di keraton tersimpan senjata-senjata perang seperti keris dan tombak dari era Padjadjaran. Keris dan tombak selain koleksi benda-benda pusaka yang ada terdapat pula sebilah pedang cenderamata dari Raja William dipersembahkan kepada Sultan Kacirebonan. \"Untuk perawatan pusaka, keraton masih menggunakan biaya sendiri,\" kata Agus.
Selain pusaka senjata, ada pula pusaka Gamelan Laras Pelog dan Gamelan Denggung. Kemudian naskah-naskah kuno berbahasa Belanda dan juga lembaran mushaf Alquran berukuran cukup besar.
Di lain sisi, Keraton Kasepuhan yang merupakan bangunan keraton tertua di Cirebon, juga kaya akan benda-benda pusaka. Di sana disebut, memiliki pusaka Golok Cabang yang tersimpan di ruangan khusus di dalam keraton. Ruangan itu hanya bisa diakses oleh keluarga keraton. Tak hanya itu, pusaka lainnya yang ada di dalam ruangan khusus itu seperti Tombak Cis yang merupakan Tombak Khotbah Sunan Gunung Djati. Tombak itu biasanya digunakan saat khutbah Idulfitri dan Iduladha.
Ada pula Panji atau Bendera Cirebon yang berukuran panjang. Selain itu, ada pedang Sunan Gunung Djati, termasuk ada batiknya Puteri Ong Tien. \"Pusaka-pusaka itu memang tersimpan di ruangan pribadi Sultan,\" kata Ketua Kompepar Keraton Kasepuhan, Iman Sugiman.
Sementara ada pula pusaka yang tersimpan di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan. Di dalam museum ini, benda-benda pusaka dipajang dan bisa dilihat oleh wisatawan dan masyarakat umum. Koleksi yang dipajang di dalam museum seperti Gamelan Sekaten, Kujang, Cundrik, Ujung Tombak Trisula Padjadjaran, pedang pelantikan, meriam, senapan dan baju perang rampasan Portugis.
Koleksi pusaka di Museum Benda Kuno Keraton Kasepuhan didominasi oleh senjata yang dibuat pada masa Sultan Sepuh ke-5, Sultan Syaifudin Matangaji pada abad ke 16-an. Pada zaman tersebut, Sultan Sepuh ke-5 produktif membuat senjata. Karena pada saat itu pula bertepatan dengan pecahnya Perang Kedondong, perlawanan masyarakat Cirebon melawan kolonial Belanda.
Koleksi pusaka di museum beraneka ragam, Gamelan Sekaten merupakan benda pusaka tertua yang dibuat sekitar abad ke-14. Sementara senjata rampasan Portugis itu sekitar abad ke-15. Dalam melakukan perawatan koleksi pusaka, Iman mengatakan masih menggunakan cara tradisional.
Perawatan tradisional ini dilakukan setiap tanggal 1 Muharam, atau bertepatan dengan Hari Jadi Cirebon. Sejumlah pusaka dicuci. Sebelum dicuci, biasanya direndam dengan memakai air kelapa selama seminggu. Hal ini dilakukan agar kotoran bisa larut, karena air kelapa mengandung zat asam.
Setelah itu, untuk menjernihkan pusaka digosok dengan menggunakan jeruk nipis agar kelihatan pamor. Setelah itu, dibilas dengan air lalu dijemur. \"Setelah itu, baru dikasih minyak khusus,\" tukas Iman lagi.
Menurutnya, pusaka itu sebenarnya tidak hanya memiliki nilai mistis. Selama ini, anggapan itu masih berkembang di masyarakat. \"Padahal tidak hanya mistis, tapi juga nilai sejarahnya yang harus diketahui masyarakat,\" tandasnya. (jamal suteja)