Buku Curhat Menantu Konglomerat (1) INILAH buku baru yang begitu diluncurkan minggu lalu langsung menjadi bahan bisik-bisik di kalangan konglomerat Indonesia. Sebagian isinya memang sexy. Bagus untuk jadi bahan gosip: curhat habis-habisan seorang menantu tentang mertuanya. Menariknya, sang mertua adalah konglomerat yang begitu besar: Dr Mochtar Riyadi. Dan sang menantu juga konglomerat yang merasa tertekan: Dr Tahir. Maka, kalau membaca buku ini, sebaiknya jangan hanya di bagian yang sexy itu saja. Bisa salah paham. Bisa mendapat kesan yang mengganggu pikiran: Begitu burukkah hubungan mertua dan menantu ini? Begitu negatifkah seorang menantu menilai mertuanya? Buku ini berjudul Dato Sri Prof. Dr. Tahir, Living Sacrifice, diterbitkan Gramedia. Ini memang buku biografi Dr Tahir, pengusaha kelahiran Surabaya itu. Penulisnya seorang wartawati dan novelis yang sangat produktif: Alberthein Endah. Alberthein inilah yang juga banyak menulis buku biografi tokoh Indonesia, termasuk Ibu Ani Yudhoyono. Mungkin, pada intinya, Dr Tahir ingin sekadar klarifikasi: bahwa kejayaannya saat ini bukanlah karena uang dari mertua. Tahir, rupanya, sangat risi dengan omongan seperti ini: Enak ya jadi menantu konglomerat, pasti diberi banyak modal dari mertua. Tahir, menurut buku itu, perlu klarifikasi demi kehormatan dan martabat dirinya, keluarganya, dan terutama anak-anaknya. Tahir merasa tidak sepeser pun diberi modal oleh mertua. “Dari segi materi nol,” katanya. Bahkan, sang mertualah yang masih punya utang kepadanya. Sebesar 2,5 juta dolar. Dalam buku ini, tersurat betapa Tahir merasa begitu tertekan di tengah keluarga mertuanya. Tidak ada kehangatan berada dalam keluarga konglomerat itu. Yang ada adalah jarak. Tahir pun merumuskan kalimat yang menarik yang menggambarkan keluarga Mochtar Riyadi: Seorang konglomerat yang telah mempercayai saya menjadi menantunya, sekaligus tidak mengizinkan saya merapat pada bisnisnya. Padahal, Tahir merasa telah menempatkan diri sebagai menantu yang baik. Bahkan, Tahir merasa telah mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi benteng keluarga Mochtar Riyadi. Yakni, ketika Tahir harus menghadapi mafia internasional yang mengancam keselamatan keluarga mertua. Tahir secara khusus menguraikan episode ini di dalam bukunya itu. Berpuluh-puluh halaman dari buku ini dipergunakan Tahir untuk menguraikan perasaannya: tertekan, tersisih, terabaikan, dan bahkan merasa sengaja disisihkan. Banyak contoh dia kemukakan di buku ini. Terlalu panjang dan terlalu terbuka kalau saya uraikan di sini. Saya, sebagai pengusaha yang akrab dengan lingkungan Tahir maupun Mochtar Riyadi, memang pernah mendengar gosip hubungan yang kurang mesra di antara keduanya, tapi saya tidak mengira kalau hubungan itu sedramatis ini. Lebih tidak mengira lagi hal tersebut diungkapkan secara terbuka, blak-blakan, dalam sebuah buku tebal yang dijual secara bebas ini. Merinding membaca bagian-bagian tertentu di buku itu. Rasanya, belum pernah ada seorang menantu menilai mertuanya seterbuka ini. Termasuk bagaimana seorang menantu memberikan nasihat kepada mertuanya secara terbuka mengenai apa sebaiknya yang harus dilakukan Mochtar Riyadi di hari tuanya sekarang ini. Saya pun yang semula hanya membaca bagian-bagian yang sexy itu tidak mau terpengaruh. Saya menyisihkan waktu untuk membaca buku ini sejak dari permulaan. Saya tidak ingin terjebak pada penilaian dari satu segi. Dan ternyata benar. Pada bagian-bagian lain buku ini, Tahir begitu banyak memuji sang mertua. Mulai kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, kewibawaan, kebijaksanaan, keberhasilan, sampai ke kemampuan filsafat sang mertua. Hanya, di tengah pujian itu masih juga dia selipkan curhat-curhatnya. Tahir juga mengakui bahwa suasana tertekan itulah yang justru mendorong dirinya untuk menjadi orang sukses. Harga diri, terpojok, tertekan, terhina, dan sakit hati telah meneguhkan tekadnya untuk harus berhasil. Dalam berusaha maupun dalam membina keluarga. Dan Tahir telah membuktikan dirinya berhasil. “Bahkan, saya bisa melebihi mertua saya,” katanya. Di usia 62 tahun ini, saya telah mencapai lebih dari yang dicapai mertua saya saat beliau berumur 62 tahun. Rasanya, setelah saya renung-renungkan, Tahir tidak memiliki sentimen negatif kepada pribadi sang mertua. Tersirat di buku itu bahwa Tahir lebih curhat mengenai ipar-ipar lelakinya, James dan Stephen Riyadi. Bahkan, sakit hati pertamanya sebagai menantu Mochtar Riyadi dia rasakan datang dari menantu Mochtar yang lain. Dia ceritakan secara detail peristiwa di Bali itu di dalam buku ini. Sampai-sampai, Tahir menuntut diadakan pertemuan keluarga besar Mochtar Riyadi untuk mengklarifikasi peristiwa itu. Pertemuan keluarga besar itu akhirnya benar-benar dilakukan. Dua kali: di Singapura dan di atas kapal pesiar di lautan Pasifik menuju Korea. (*)
Dipercaya untuk Tidak Mendekati Bisnis
Rabu 30-09-2015,08:00 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :