Merasa Tertekan di Atas Panggung Mertua

Jumat 02-10-2015,14:36 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Buku Curhat Menantu Konglomerat (2) BAGAIMANA Tahir bisa menjadi menantu konglomerat sebesar Dr Mochtar Riady pada awalnya dinilai ibarat perkawinan Cinderella. Tahir yang jadi Cinderella-nya. Dalam perjodohan itu, Tahir memosisikan diri sebagai orang biasa yang bernasib seperti Cinderella. Tahir selalu ingat betapa miskin keluarganya saat dirinya dilahirkan di Rumah Sakit Undaan, Surabaya. Sampai bapaknya tidak punya uang untuk menebus sang bayi. Cari utang pun tidak berhasil. Sampai, secara tidak disangka, seorang keluarga datang dari Jember dan ketika diceritakan soal penebusan bayi itu bersedia memberikan pinjaman. Sang ayah waktu itu bekerja membuat becak dan menyewakan becaknya. Sang ibu sebenarnya anak orang kaya dari Solo, tapi harga diri tidak memungkinkan sang ayah meminjam uang kepada mertua. Begitulah adat di keluarga Tionghoa. Waktu itu keluarga tersebut tinggal di satu rumah kuno yang kusam peninggalan Belanda di Jalan Bunguran No 19, Surabaya. Ketika Belanda terusir dari Indonesia pada tahun 1946-an, memang banyak bangunan yang ditinggalkan. Penduduk berebut menempatinya. Yang bagus-bagus sudah lebih dulu diisi orang. Tinggal bangunan tua di Bunguran yang memiliki banyak kamar itu yang tidak diminati. Bangunan tersebut cukup untuk ditempati tiga keluarga. Yang satu adalah ayah Tahir, yang saat itu bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan koran berbahasa Mandarin di Surabaya. Satunya lagi keluarga Tan Bun Tjoe, wartawan di koran tersebut yang kelak menjadi pemimpin redaksinya. Pada tahun 1980-an, salah satu anak Tan Bun Tjoe, Ir Agus Mulyanto, lulusan Fakultas Teknik Elektro ITS, mendirikan SCTV. Setelah Tahir menjadi konglomerat, rumah di Jalan Bunguran No 19 itu dibeli untuk dilestarikan sebagai rumah kelahiran Tahir. Bangunannya dibiarkan apa adanya seperti itu. Tetap seperti tidak terawat. Tahir mengizinkan beberapa tukang becak menempati rumah tersebut sebagai kenangan bahwa di rumah itulah bapaknya dulu berusaha membuat becak dan menyewakannya. Dari karyawan koran dan menjadi juragan becak, ayah Tahir kemudian membuka toko sederhana. Ibunya tidak mau hanya menunggu pembeli. Perempuan itu memilih ‘menjemput’ pembeli dengan jalan berjualan keliling dari rumah ke rumah. Anak-anaknyalah yang menjaga toko. Sang ibu digambarkan lebih dominan dalam memperjuangkan kehidupan ekonomi keluarga itu. Juga lebih keras dalam mendidik Tahir. Setiap membuat kesalahan, Tahir pasti dipukuli. Sampai-sampai suatu hari Tahir memilih sikap ini: Mah, saya akan diam saja, pukulilah saya sampai saya gila. Tahir merasa ibunyalah yang melatihnya berdagang. Dengan cara menyuruhnya kulakan barang yang akan dijual di tokonya. Kulakannya ke Jakarta. Ke Pasar Baru dan Mangga Dua. Naik kereta api dan tidur di losmen murahan di Jakarta. Setelah usaha itu berkembang, Tahir bahkan disuruh kulakan ke Singapura. Ketika masih SMA pun, Tahir sudah biasa pulang-pergi ke Singapura sebagai inang-inang. Di samping keras dalam bersikap, sang ibu juga keras dalam bidang pendidikan. Tahir harus bersekolah. Dan dipilihkan sekolah yang baik. Salah satu sekolah swasta terbaik saat itu: Petra. Bahkan, kemudian Tahir dipaksa bersekolah di Singapura, di Nanyang University. Agar kelak bisa mengangkat derajat keluarga. Agar, menurut istilah ibunya, kalau bekerja nanti pakai dasi. Menyadari ekonomi keluarga yang masih dalam perjuangan, Tahir tidak pernah ikut pesta atau hura-hura. Dia hanya belajar dan belajar. Permainan yang dia lakukan hanyalah pingpong. Sejak SMA, Tahir merasa menjadi anak yang minder. Tidak berani mendekati teman perempuan. Demikian juga saat sudah kuliah di Singapura. Hanya belajar dan belajar. Tapi, sikapnya yang seperti itulah yang rupanya menarik perhatian orang. Suatu saat, Tahir dipanggil untuk menghadap Mumin Gunawan, pemilik Bank Panin, ke Jakarta. Untuk diperkenalkan dengan seorang konglomerat yang lagi mencari menantu: Dr Mochtar Riady. Konglomerat itu punya anak perempuan bernama Rosy yang juga bersekolah di Singapura. Tahir, yang dinilai tidak pernah foya-foya, dinilai sebagai pilihan yang tepat. Tahir pun mampir ke Surabaya. Berkonsultasi dengan orang tuanya. Ayah-ibunya langsung memberikan dukungan. Siapa yang tidak mau diambil menantu konglomerat pemilik bank. Tahir lantas kembali ke Jakarta dan menyatakan bersedia. Setelah itu, barulah dia dipertemukan dengan Rosy. Tidak ada cinta, tapi Tahir mengaku sangat terkesan dengan Rosy. Cantik dan sederhana. Tidak mencerminkan anak seorang konglomerat. Begitu lulus dari Nanyang University, pesta perkawinan dilakukan. Sesuai dengan adat Tionghoa, pesta dilaksanakan oleh keluarga pengantin laki-laki. Berarti di Surabaya. Saat itulah Surabaya heboh. Perkawinan Cinderella. Seminggu setelah perkawinan itu, barulah Tahir dipanggil untuk menghadap sang mertua. Di sinilah Tahir didoktrin bagaimana memasuki keluarga Dr Mochtar Riady sebagai menantu. Saya baru tahu dari buku ini bagaimana seorang menantu dalam keluarga Tionghoa harus diperlakukan. Saya pun lantas menghubungi beberapa teman Tionghoa untuk membandingkannya. Tidak semuanya seperti itu. Ada yang seperti itu, ada pula yang tidak. Meski Tahir merasa tertekan, tersisih, dan terabaikan, dari buku ini saya memperoleh kesan bahwa banyak juga jasa Mochtar Riady kepada Tahir. Dalam istilah yang diakui Tahir, sang mertua memang tidak pernah memberikan modal, tapi telah memberikan panggung, stempel, dan kop surat. Maksudnya, dengan menjadi menantu Mochtar Riady, dia mengalami kemudahan untuk menemui siapa saja. Bahkan, sebenarnya lebih dari itu. Saat Tahir mengalami kebangkrutan yang pertama, Mochtar Riady memberikan pinjaman. Memang harus dikembalikan. Tapi, pinjaman itu tetaplah bermakna besar. Bahkan ketika Tahir mengalami kebangkrutan kedua, yang lebih parah, sang mertua juga memberikan pinjaman. Memang jumlahnya tidak bisa melunasi seluruh utangnya kepada pihak Singapura, tapi tetaplah tidak ternilai maknanya. Apalagi, saat kebangkrutan kedua itu, Mochtar juga meminta Tahir untuk menjadi top executive perusahaan garmen milik sang mertua. Lantaran ditugasi mengurus garmen itulah, Tahir memperoleh momentum luar biasa untuk kebangkitan berikutnya. Hingga menjadi konglomerat sampai sekarang. Yakni, ketika Tahir bertemu Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang memberinya kuota ekspor garmen ke Amerika dalam jumlah yang luar biasa. Tahir mengakui itu. Menceritakan itu. Dan menganggapnya, itulah bagian dari panggung yang diberikan oleh sang mertua. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait