MEREKA cantik-cantik dan berjilbab. Mereka siap berangkat kuliah ke sembilan universitas di berbagai provinsi di Tiongkok. Mereka mendapat beasiswa untuk S-1 selama 4 tahun di sana. Ada yang masuk fakultas kedokteran, ada juga yang fakultas ekonomi/bisnis. Tahun ini ada 130 calon mahasiswa seperti itu yang mendapat beasiswa melalui ITC (Indonesia-Tiongkok Cultural) Center Surabaya. Itulah lembaga kebudayaan yang saya dirikan bersama Lily Yoshica sepuluh tahun yang lalu. Mula-mula hanya melayani masyarakat yang ingin belajar bahasa Mandarin. Lama-lama dipercaya oleh berbagai universitas untuk mengurus beasiswa. Sudah tiga tahun ini kepercayaan seperti itu diberikan kepada ITC. Mula-mula hanya 63 orang. Tahun berikutnya 67 orang. Tahun ini 130 orang. Saya ikut melepas keberangkatan mereka dari Surabaya, Rabu lalu (14/10). Yang berangkat itu sebagian lulusan SMA Nahdlatul Ulama (NU) Gresik. Sebagian lagi lulusan SMA Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo yang terkenal itu. Yang putra ada yang lulusan SMA Muhammadiyah atau SMA negeri. Beberapa lagi lulusan SMA Kristen/Katolik. Umumnya dari Jatim, Jateng-Jogja, Kaltim-Kalsel, dan Sulsel. Para kepala SMA itu ikut hadir dalam acara Rabu lalu. Demikian juga para orang tua. Bupati Bojonegoro Suyoto yang anaknya juga kuliah di Beijing kami minta bicara. Untuk memotivasi orang tua calon mahasiswa agar tidak perlu mengkhawatirkan anak mereka. ”Tahun pertama dulu kami sulit meyakinkan orang tua mereka,” ujar Drs Nasihudin, kepala SMA NU Gresik. “Kami sampai datang ke rumah-rumah mereka,” tambahnya. Pak Nasihudin ini memang gigih. Dia mengawali pergi ke universitas yang dituju. “Bahasanya sulit, saya lupa nama kotanya,” ujar Nasihudin. Dia berbicara dengan pimpinan universitas. Misalnya, untuk menyediakan fasilitas makanan halal. Pihak universitas pun langsung menyiapkan fasilitas yang diminta. Lain lagi dengan Drs Faizin, kepala SMA Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo. Dia semangat memperjuangkan beasiswa untuk anak didiknya karena kebutuhan. “SMA kami membuka jurusan bahasa Mandarin,” kata Faizin. Lulusannya harus bisa diterima di Tiongkok. Seperti yang lulusan jurusan bahasa Arab-nya harus bisa kuliah di Mesir atau Arab Saudi. Dalam acara itu, hadir juga seorang kiai muda. Namanya Mustofa. Dia mengaku lulusan Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Kini Kiai Mustofa sudah memiliki pondok pesantren sendiri di Nongkojajar, Pasuruan. Namanya: Pondok Pesantren Pitutur. Nama itu diambil dari nama desa setempat, Tutur, lalu ditambah Pi di depannya. “Tahun depan saya ingin 100 santri saya bisa memenuhi syarat untuk dapat beasiswa ini,” kata Mustofa penuh semangat. Berkata begitu, dia mengarahkan wajahnya ke Lily Yoshica dan Andre Su. Dua orang itulah yang memimpin ITC sejak didirikan pada 2000 hingga kini. “Kami siapkan, Pak Kiai,” ujar Lily, direktur ITC. Tahun ini Pesantren Pitutur baru bisa mengirimkan enam orang. Melihat pribadi kiai muda ini, saya merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari saya: Kehebatannya. Saya harus kejar dia dengan berbagai pertanyaan. Agar terungkap orang seperti apa kiai ini sebenarnya. Kerendahan hatinya memang luar biasa. Tapi, itu tidak bisa menyembunyikan kualitas pribadinya. Akhirnya ketahuan. Ternyata dia seorang dokter. Hanya, dia tidak pernah praktik. Ternyata Kiai Mustofa juga menyembunyikan rahasia sukses lainnya. Agar tidak kelihatan sombong. Kiai Mustofa ternyata seorang penemu sistem pendidikan yang dia namakan konstruktivisme. Sistem itulah yang dia terapkan di Pondok Pesantren Pitutur. Dengan sistem tersebut, nilai kelulusan siswa SMA-nya tertinggi di Jatim. Mata pelajaran fisika, kimia, dan matematikanya mendapat nilai 10. Teori-teori mengajar fisika, kimia, dan matematika di Pesantren Pitutur itu tidak sama dengan teori pengajaran yang sudah ada. Selepas pendidikan dokternya dulu, Mustofa ternyata menempuh pascasarjana bidang pendidikan. Metode baru itu juga dia terapkan untuk pelajaran kitab kuning. Kitab kuning adalah istilah pondok pesantren untuk menyebut buku pelajaran agama Islam yang sulit sekali karena ditulis dengan huruf Arab tanpa kode-kode bunyi. Kiai Mustofa menceritakan pengalamannya saat menjadi santri di Pondok Pesantren Langitan. Dia perlu waktu 6 tahun untuk menguasai kitab kuning. “Dengan sistem yang saya temukan ini, cukup enam bulan,” kata Mustofa. Mustofa bertekad mengandalkan mutu untuk pengembangan pesantrennya. Dia tidak mau minta dan tidak mau menerima sumbangan dari mana pun. Ada sebuah perusahaan besar di Pasuruan yang pernah memaksanya menerima sumbangan. Dia tidak mau. Bahkan sumbangan dari para orang tua santri pun dia tolak. Tanpa ITC pun, minat belajar bahasa Mandarin sebenarnya sudah menggeliat. Waktu di Beijing, misalnya, saya bertemu banyak mahasiswa asal Indonesia. Termasuk anaknya tokoh Islam seperti mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring. Mereka itulah yang kini ingin mendirikan asosiasi yang akan mereka beri nama: Perhati (Perhimpunan Alumni Tiongkok di Indonesia). (*)
Bea setelah Gerilya ke Orang Tua (39)
Senin 19-10-2015,13:51 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :