Sejarah Kepemimpinan dan Pemilihan Kuwu di Cirebon

Selasa 20-10-2015,15:18 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Ki Danusela Kuwu Pertama, lalu Mbah Kuwu Cirebon Kuwu adalah sebutan untuk seorang kepala desa di Kabupaten Cirebon. Penyebutan itu tentu tidak terlepas dari sejarah panjang tentang kepemimpinan dan pemilihan kuwu di Cirebon. MOHAMAD JUNAEDI, Cirebon HAUL Mbah Kuwu Cirebon digelar 14 Oktober lalu, bertepatan dengan 1 Muharam 1437 Hijriyah di kompleks makam Mbah Kuwu Cirebon di Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Koran ini berkesempatan untuk berdiskusi dengan filolog Raden Achmad Opan Safari Hasyim yang diundang oleh Forum Komunikasi Kuwu Cirebon (FKKC) untuk memberikan ceramah ilmiah mengenai sejarah kepemimpinan di Cirebon dan sekitarnya. Menurut Opan- sapaan akrab Raden Achmad Opan Safari Hasyim- kuwu adalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-Alang karena dianggap sebagai pemimpin perdukuhan bernama Caruban. Ki Danusela ditunjuk oleh masyarakat Caruban yang saat itu terdiri dari etnis Arab, India, Jawa, Sunda, dan sejumlah suku serta etnis lainnya. “Kuwu pertama di Cirebon adalah Ki Danusela,” tuturnya kepada Radar Cirebon. Dipilihnya Ki Danusela ini bukan asal-asalan, melainkan dengan menggunakan mekanisme pemilihan yang cukup demokratis. Saat itu pemilihan kuwu disebut dengan uwi-uwian. Teknis pemilihan kuwu saat itu, setiap orang yang menyatakan dukungannya kepada calon, harus berdiri di belakangnya. Setelah semua warga Caruban menyatakan dukungannya, baru dihitung berapa yang memilih berdiri di belakang calon. “Saat itu, warga Caruban mayoritas berdiri di belakang Ki Danusela. Makanya, sejak dulu pemilihan kuwu dipilih langsung oleh masyarakat dan demokrasi langsung yang pertama kali diterapkan di Indonesia adalah pemilihan kuwu,” bebernya. Dalam memimpin, sambung Opan, Ki Danusela dibantu seorang Pangraksanbumi atau wakil, yakni Raden Walangsungsang yang tak lain putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang. Pangraksabumi ini bertugas untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Dia juga dikenal sebagai ahli ekonomi. “Ki Danusela wafat, Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana menggantikannya. Beliaulah yang sampai dengan saat ini disebut sebagai Mbah Kuwu Cirebon,” ungkapnya. Pangeran Cakrabuana yang diangkat menjadi Kuwu Caruban kedua sangat dihormati. Seluruh masyarakat yang beragama Hindu, Budha, Islam, Totemisme, juga masyarakat suku Sunda, Jawa, etnis China, India, Arab sangat menghormatinya. Bahkan, raja-raja di tanah Jawa saat itu juga hormat. “Sampai-sampai jin merkayangan pun hormat ke beliau, karena tingkat keilmualnya sangat tinggi. Dia seorang auliya, jenderal, ekonom, politikus dan seorang yang sangat dermawan. Makanya, dia bisa menjadi suri tauladan bagi kuwu-kuwu atau pemimpin daerah saat ini,” terangnya. Dengan sistem pemerintahan saat ini, kewenangan kuwu dipersempit. Kuwu bukan lagi sebagai pemimpin desa, tapi hanya pemimpin di tingkat desa. Oleh sebab itu, untuk melindungi warisan yang sangat agung ini, pihaknya mengusulkan kepada Pemkab Cirebon agar istilah kuwu, raksabumi, juragan, tulis, carik harus diabadikan dalam sebuah peraturan daerah. “Kuwu adalah identitas lokal yang harus kita jaga sampai akhir zaman,” ungkapnya. Melihat dinamika pemerintahan saat ini, Opan berpesan kepada kuwu agar mereka lebih peka terhadap aspirasi masyarakat. Kemudian, harus bersatu demi kepentingan masyarakat, karena perangkat pemerintah yang tahu persoalan di masyarakat adalah kuwu. “Kuwu harus mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, karena kuwu adalah representasi masyarakat,” pungkasnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait