Warga Tuntut Ganti Rugi Jalan Pantura

Selasa 07-02-2012,02:40 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Tagih Janji ke Dewan, Demo Blokir Pantura INDRAMAYU – Proyek pelebaran jalan pantura Indramayu yang dimulai dari Desa/Kecamatan Sukra hingga Desa/Kecamatan Lohbener pada 2003 lalu, masih menyisakan persoalan. Pasalnya, jalan yang menjadi jalur utama dari Jakarta menuju Jawa Tengah dan sebaliknya tersebut, hingga kini warga di lima desa yang dilalui proyek tersebut mengaku belum mendapat ganti rugi sama sekali. Untuk menuntut kepastian ganti rugi tersebut, ratusan warga di lima desa yang lahannya terkena proyek pelebaran jalan itu, menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPRD Indramayu, Senin (6/2). Datang menggunakan 3 unit kendaraan truk dan puluhan motor, massa yang ingin masuk ke gedung DPRD, dihalau petugas kepolisian. Situasi sempat memanas, ketika keinginan tersebut ditolak. Kedatangan mereka menuntut para wakil rakyat memperjuangkan nasib mereka yang selama 9 tahun dilupakan. Adapun lima desa tersebut, yakni Desa Langut, Lanjan, Kiajaran Wetan, dan Kiajaran Kulon, yang terletak di Kecamatan Lohbener. Ditambah lagi, Desa Jumbleng yang berada di Kecamatan Losarang. Salah seorang korlap, Kusbana mengatakan, saat ini masih ada 700 KK yang berada di lima desa ini menunggu dana dari proyek tersebut yang hingga kini hak mereka belum didapatkan. Sedangkan untuk luas lahannya sendiri mencapai 20.300 hektare yang entah ke mana janji pembayarannya. “Hingga kini kami sama sekali belum menerima pembayaran atas ganti rugi proyek tersebut. Padahal, lahan warga telah menjadi jalan pantura milik negara selebar 40 meter dan panjang tujuh kilometer. Hingga kini, tidak ada kepastian sama sekali, dan hanya janji-janji manis yang diberikan pihak pemerintah maupun DPRD, yang ikut dalam pembebasan tanah pada waktu itu,” tegas Kusbana. Bahkan, lanjutnya, selama ini warga termakan janji manis dari banyaknya pihak ketiga yang berjanji akan membantu dan merealisasikan pembayaran ganti rugi tersebut. Tetapi semuanya hanyalah bohong belaka. Saat ini, warga sudah tidak percaya lagi, oleh karena itu melakukan unjukrasa. “Sama sekali tidak ada kejelasan. Kami merasa dibodohi,” kata dia. Kusbana membeberkan, berdasarkan ketentuan dari pemerintah pusat, besarnya ganti rugi lahan yang terkena proyek tersebut mencapai Rp575.000 per meter persegi. Namun, ganti rugi lahan yang terjadi di Blok Bunderan, Desa Kiajaran Wetan yang sebelumnya telah dibayar, ternyata hanya berkisar Rp40.000 dan paling tinggi hanya Rp500.000 per meter persegi. “Warga yang sudah dibayar pun rupanya masih diminta potongan dan tidak sesuai dengan ganti rugi yang diutarakan pemerintah pusat. Jika ini tidak ada realisasi, kami akan melakukan aksi blokir jalan pantura,” kecamnya. Anggota Komisi B DPRD Indramayu, Ruslandi, yang menemui pengunjuk rasa menyatakan, akan berusaha membantu. Karenanya, dia mengajak warga untuk mendatangi panitia pembebasan tanah untuk negara (P2TUN) di Jakarta yang dulu menangani kasus tersebut. “Silakan tunjukkan perwakilan warga untuk menemui P2TUN guna memastikan persoalan ini. Dan saya akan mengantarnya hingga selesai,” ajak Ruslandi. Usulan Ruslandi tersebut, rupanya tidak memuaskan warga, yang kemudian meminta Ruslandi memberi pernyataan tertulis dan mengizinkan warga masuk ke dalam gedung DPRD untuk membahasnya. Namun, keinginan warga tersebut ditolak, lantaran di dalam gedung DPRD tengah ada agenda rapat, sehingga tidak bisa diganggu. Kontan, warga menolak alasan yang diutarakan Ruslandi, dan terus bertahan di depan gedung DPRD. Karena tidak kunjung diizinkan, selang satu jam, warga membubarkan diri.   BLOKIR JALAN PANTURA Warga yang membubarkan diri menggunakan puluhan sepeda motor dan beberapa unit mobil tersebut, rupanya memenuhi ancamannya. Usai bubar dari gedung DPRD, mereka langsung melakukan aksi blokir pantura. Ketika memasuki jalur pantura Lohbener, puluhan kendaraan motor berjalan dengan zig zag dan menutup jalur dari arah Cirebon menuju Jakarta, dengan kecepatan lambat. Kontan, akibat aksi tersebut, kendaraan yang kala itu tengah ramai, mendadak menjadi macet lantaran aksi puluhan motor warga yang melancarkan demo. Setibanya di Desa Langut, warga menutup jalan pantura Cirebon-Jakarta dengan puluhan motor. Akibat aksi blokir tersebut, sekitar 2 KM mengalami kemacetan. Bahkan, kendaraan yang nekat melaju di jalur berlawanan Jakarta-Cirebon, juga mengakibatkan tersendatnya laju hingga kemacetan menjadi dua arah. Bahkan, dalam aksi tersebut, sempat terjadi keributan antara pengunjuk rasa dengan salah satu warga yang ingin berupaya membubarkan aksi blokir pantura. Aparat kepolisian yang semula tidak mengetahui aksi tersebut, kontan dibuat repot. Sejumlah petugas yang tiba di lokasi pemblokiran pantura yang juga dibantu unsur Muspika Kecamatan Lohbener, berusaha negosiasi dengan warga agar menyudahi aksi blokir pantura tersebut, karena mengganggu akses jalan utama nasional ini. Aksi yang hanya berlangsung sekitar 15 menit tersebut, cukup membuat perhatian sejumlah warga sekitar dan para pengguna jalan di pantura. Akhirnya, usai negosiasi, massa menyudahi aksi blokir pantura dan jalan kembali normal dengan bantuan petugas lalu lintas. Koordinator Pimpinan Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Ilyasa, yang turut mengawal aksi warga mengatakan, jika aksi ini merupakan bentuk kekecewaan warga yang sudah memuncak. Pasalnya, di jalan pantura ini ada tanah milik mereka yang hingga kini belum dibayarkan pihak proyek. “Wajar ketika kemarahan warga sampai seperti ini, sebab mereka hingga 9 tahun selalu dibohongi oleh janji-janji manis pemerintah pusat, daerah dan kalangan anggota DPRD yang pernah berjanji akan membantu warga, namun hingga kini tidak ada realisasinya,” ungkap dia. Adapun tujuan warga melakukan hal ini, sebagai wujud kekecewaan kepada anggota DPRD yang tidak mau menerima aspirasi warga ketika demo tadi. Ancaman warga yang dianggapnya sebuah isapan jempol belaka, rupanya menjadi pemacu warga secara sadar untuk membuktikan bahwa warga sudah kecewa dengan semuanya. Sehingga, melakukan aksi blokir pantura sebagai bukti jika mereka bersungguh-sungguh memperjuangkan haknya. “Kami dari PPMI 98 hanya mengawal aspirasi warga, dan membantu apa yang diharapkan dalam penyelesaian. Adapun aksi yang dilakukan warga, itu timbul dari kekecewaan mereka. Bisa saja ke depan akan kembali terjadi, jika semuanya hanya bisa diam atas penderitaan warga di lima desa ini,” pungkasnya. (alw)

Tags :
Kategori :

Terkait