SELAIN fenomena istri gugat cerai suami, realitas lain yang terjadi adalah semakin banyak perempuan yang bekerja. Bila dahulu, perempuan hanya bekerja di rumah mengurus rumah tangga, mengurus anak dan suami, tidak dengan kondisi saat ini. Tentu, tidak ada lagi perbedaan status sosial ekonomi yang mendiskriminasi kaum perempuan, menjadi salah satu alasan perempuan berani mengajukan tuntutan cerai kepada suami. Seperti yang dinilai psikolog, Felisia Rahmantika MPSi.
\"Para perempuan merasa kesetaraan gender membuat mereka memiliki hak yang sama dalam pernikahan. Apalagi saat ini banyak perempuan yang memiliki penghasilan lebih baik daripada pasangannya. Ini semakin memperkuat posisi perempuan untuk setara dengan kaum pria,\" ujarnya.
Tak hanya itu, lanjut Felisia, sejak adanya emansipasi pada wanita, sepertinya status janda bukan lagi hal yang menakutkan untuk para perempuan. Bahkan, para istri yang bercerai banyak yang menjadi single parents bagi anak-anaknya. Ini disebabkan karena perempuan merasa lebih mandiri. Tanpa suami, istri merasa mampu untuk berperan ganda, baik sebagai ibu sekaligus ayah.
\"Peran ganda ini tidak menjadi kendala bagi istri, bahkan ketika mereka juga dituntut sebagai pencari nafkah untuk anak-anak. Para istri yang mandiri akan dengan mudah melalui masa adaptasi perubahan status sebagai janda dan ibu, sekaligus ayah bagi anak-anak,\" tuturnya.
Perempuan yang mapan tidak takut untuk menggugat cerai suami karena alasan mampu secara finansial untuk menjadi tulang punggung keluarga. Menurut Felisia, kebanyakan kasus perceraian tidak bisa dipungkiri bahwa para istri memiliki penghasilan yang baik dan bahkan lebih besar dibandingkan para suami. Kesetaraan ekonomi antara perempuan dan laki-laki dapat menjadi penyebab mengapa perempuan lebih berani untuk menggugat cerai para suami.
\"Apalagi banyak perempuan yang kini tampil sebagai pemimpin sebuah instansi atau pengusaha yang sukses. Jadi tidak heran kalau para istri saat ini tidak takut jika harus menjadi tulang punggung untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga, termasuk pendidikan dan kesehatan anak,\" bebernya.
Namun, dengan faktor-faktor tersebut, Felisia menyarankan agar kaum perempuan pun tak lupa kodratnya. \"Jadi mandiri bukan berarti jadi perempuan yang benci lelaki dan merasa jumawa bisa hidup sendiri tanpa bantuan laki-laki. Perempuan bisa tetap jadi sosok yang lembut dan menghargai laki-laki, meski sudah mandiri. Kemandirian tidak akan mengubah apapun dari kodrat sebagai perempuan,\" pesannya. (mike dwi setiawati)