Bisnis Kuliner Menjamur, Regulasi Terlambat
Usaha kuliner di Kota Cirebon terus bertumbuh. Nyaris setiap bulan ada kafe baru yang buka. Sayangnya, pemerintah terlambat dalam menetapkan regulasi. Tak hanya itu, sosialisasinya pun kurang masif, sehingga banyak aspek yang ditabrak pengusaha karena ketidaktahuannya.
SAMPAI saat ini, dari ratusan kafe dan penyedia jasa kuliner, ternyata baru sembilan yang memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Para pengusaha ini tak sepenuhnya salah. Banyak dari mereka yang tidak tahu, apakah sertifikat halal itu kewajiban atau sekadar pelengkap.
Kalaupun tahu, mereka sungkan mengakses sertifikasi tersebut karena minim informasi dan menganggap urusan ini ribet lantaran prosesnya harus ke MUI Provinsi Jabar. Wakil Ketua II MUI Kota Cirebon, Dr KH Syamsudin MAg mengatakan, seharusnya sertifikat halal itu bisa diproses di tingkat Kota Cirebon dan tidak perlu lagi ke provinsi. Tapi, meski melibatkan provinsi prosesnya tetap bisa ditempuh dari MUI Kota Cirebon. “Tinggal datang ke MUI Kota Cirebon, prosedurnya ditempuh nanti kita kasih pengantar,” ujar Syamsudin, kepada Radar, Selasa (1/12).
Dijelaskan dia, surat pengantar dari MUI Kota Cirebon, lalu diajukan ke MUI Jawa Barat. Setelah itu, tim dari MUI Jawa Barat sendiri yang akan meneliti dan menilainya. \"Sertifikat halal sangat penting, supaya masyarakat juga tidak ragu. Apalagi di Cirebon ini mayoritas muslim,” katanya.
Syamsudin meminta, masyarakat muslim lebih berhati-hati dan selektif memilih makanan dan minuman yang tak berlabel halal. Belakangan, memang menjamur produk makanan dan minuman kemasan. Kehati-hatian sangat wajar sebagai bentuk kewaspadaan. \"Saya rasa ini memang harus bahkan wajib,\" tuturnya.
Adapun keputusan sertifikat halal diberikan atau tidak, tim MUI Jabar yang memutuskan setelah melakukan serangkaian kajian. Diakui Syamsudin, sedikit sekali rumah makan dan produk makanan daerah yang sudah berlabel halal. Itu karena memang bisa jadi para pelaku usaha masih belum tahu. Ke depan pihaknay sudah merencanakan akan merapatkan hal ini dengan pengurus MUI lainnya. \"Ya nanti ke depan kita akan fasilitasi, bahkan mungkin kita harusnya terjun ke lapangan untuk menyosialisasikannya,\" katanya.
Dalam pengertian agama, terang Syamsudin, makanan yang halal dan toyiban memiliki pengertian yakni makanan halal yang tidak mengandung najis dan makanan yang tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan secara agama. Selain juga, untuk hewan harus disembelih mengikuti aturan Islam. \"Atau juga bisa jadi haramnya itu karena menjadikan penyakit terhadap diri sendiri,\" jelasnya.
Kepala Penyelenggara Syariah Kantor Kemenag Kota Cirebon, H Slamet Sag berpendapat, prosedur untuk mengajukan rekomendasi sertifikat halal MUI, seharusnya bisa dilakukan di tingkat kota/kabupaten. Ia mengusulakan hal ini agar bisa lebih efektif dan efesien.
\"Kita sudah diskusi dengan dinkes, indag dan MUI Kota Cirebon. Kita ingin pengajuan sertifikat halal cukup di kota/kabupaten agar lebih efeseien dan efektif,\" jelasnya.
Selama ini pengajuan sertifkat halal harus ditetapkan oleh MUI Provinsi Jabar. Pasalnya, MUI di kabupaten/kota masih terbatas sarana dan prasarana penelitiannya. Prosedural pengajuan sendiri dari pemilik usaha mengajukan ke MUI dan kemenag kota/kabupaten setempat. Setelah dapat rekomendasi kemudian mengajukan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tingkat provinsi. Lalu dari BPOM keluar hasil laboratorium yang menjadi dasar sertikat halal MUI tingkat provinsi.
Di lain sisi, Kepala Bidang Pariwisata Disporbudpar Kota Cirebon, H Edi Tohidi SE MM menyebutkan di Kota Cirebon ada sekitar 129 usaha rumah makan dan restoran. Selama ini, untuk usaha rumah makan, kafe dan restoran harus mengantongi terlebih dahulu Surat Izin Usaha Kepariwisataan (SIUK) sebelum beroperasi. Hal ini sesuai dengan Perda 3/2008 tentang Perubahan Perda 12/2001 tentang izin usaha kepariwisataan. \"Usaha kepariwisataan wajib memiliki SIUK, bukan lagi SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), baru setelah itu keluar TDP (Tanda Daftar Usaha),\" jelas Edi.
Diakuinya, selama ini untuk penerbitan Surat Izin Usaha Kepariwisataan (SIUK) belum disertakan baik sertifikat halal MUI maupun laik sehat dari Dinkes Kota Cirebon. \"Nah ke depan kita akan terapkan apabila mengurus SIUK harus ada rekomendasi dulu laik sehat dan halal,\" jelasnya.
Dikatakan Edi, memang tidak semua rumah makan harus memasang label halal. Ada juga rumah makan yang menyajikan makanan yang tidak masuk dalam kategori halal. Maka dari itu, dirinya mengimbau agar rumah makan juga terbuka dengan menyatakan identitas rumah makan tersebut. Sehingga tidak menimbulkan keraguan dari masyarakat.
Salah seorang pemilik rumah makan, Sri Mulyani mengaku, tidak keberatan dengan adanya pemberlakukan label halal MUI. Justru pihaknya akan sangat mendukung hal itu. Sehingga para konsumen bisa yakin ketika mengkonsumsi makanan dan minuman.
\"Menurut kami sangat perlu, cuma memang kami belum mengurus sertifikat halal, karena belum tahu prosedurnya bagimana. Tapi kalau untuk sertifikat laik sehat dari Dinkes kita sudah punya,\" jelasnya. (jml)