Akan Lapor Balik, Tegaskan Tak Ada Proyek PPID
JAKARTA - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar akhirnya menjadi saksi di pegadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dia dipanggil untuk menjadi saksi terdakwa Dadong Irbarelawan dan I Nyoman Suisnaya yang terlibat suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) kawasan transmigrasi.
Di persidangan itu pula dia menampik semua tuduhan yang selama ini dialamatkan kepadanya. Seperti sidang pertama saat Cak Imin -- sapaan Muhaimin -- menjadi saksi untuk terdakwa Dadong. Kebanyakan dia dikonfrontir tentang hubungannya dengan dua staf asistensinya, yakni Ali Mudhori dan Fauzi.
Dia dengan mantap menjawab tidak tahu apa-apa ketika ketua majelis hakim menanyakan kepada dirinya perihal commitment fee Rp1,5 miliar dari PT Alam Jaya Papua. Alasannya, kewenangan DPPID ada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “DIPA-nya di Kemenkeu dan dana langsung ditransfer ke daerah,” ujarnya.
Dia sendiri heran kenapa namanya bisa dicatut para anak buahnya untuk mendapatkan uang Rp1,5 miliar. Padahal, Muhaimin menegaskan jika dirinya tidak tahu apa yang disebut dengan commitment fee. Apalagi, selama jadi menteri, dia menegaskan tidak pernah ada uang tambahan dari sebuah proyek.
Alasan tidak adanya proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) bidang transmigrasi juga dia utarakan lebih jelas. Yakni, PPID yang masuk anggaran 2011 ternyata terpisah dari yang dibahas Kemenakertrans di Komisi IX DPR. “Baru saya ketahui setelah peristiwa penangkapan (Nyoman dan Dadong, red),” imbuhnya.
Oleh hakim, dia juga sempat ditanya tentang hubungannya dengan beberapa orang terkait kasus itu. Seperti tidak dikenalnya Dharnawati dan Dokter Danny Nawawi yang disebut-sebut kenal dekat dengan dia dan bisa mengatur proyek. Sedangkan dengan Fauzi, Muhaimin menyebut dia hanya staff biasa yang tidak seharusnya masuk ranah strategis.
Itulah kenapa, menteri kelahiran Jombang itu kembali keheranan kalau disebut pernah meminta Fauzi untuk mengambil uang Rp1,5 miliar dari Dharnawati. Bahkan, dia menyebut itu semua ngawur karena Muhaimin tidak pernah bertemu dengan Fauzi untuk masalah itu. “Tidak pernah dan tidak ada,” tegasnya.
Meski demikian, dia tidak menampik pernah menandatangani sebuah dokumen nomor B 97. Surat itu dia tanda tangani setelah rapat mengenai pembangunan daerah transmigrasi. Namun, dalam rapat tersebut usulannya dimasukkan dalam APBN perubahan senilai Rp988 miilar. Dia menegaskan yang diajukan adalah APBN perubahan bukan PPID.
Kenapa ada surat B 73 ditandatangani oleh Sekjen Kemenakertrans Muchtar Lutfi untuk pengajuan dana PPID sebesar Rp500 miliar? Muhaimin angkat bahu. Dia mengaku tidak pernah tahu ada surat itu karena tidak ada tembusannya ke dia. “Saya baru tahu dari KPK saat kasus ini meledak,” tegasnya.
Merasa terus dipojokkan karena dalam dakwaan tiga terdakwa selalu mencatut namanya, Muhaimin mengatakan dia adalah korban pencemaran nama baik. Bahkan, dia berencana melaporkan Ali Mudhori, M Fauzi, Sindu Malik Pribadi, Iskandar Pasajo alias Acos, serta Ahmad Dani Nawawi ke pihak berwajib.
Yang paling menjengkelkan menurut Muhaimin sosok Danny Nawawi. Menurutnya, dia menjadi pangkal permasalahan karena mengaku kenal dan beberapa kali bertemu dirinya untuk membahas Tunjangan Hari Raya (THR). Padahal, sosok yang mengaku dokter itu tidak dikenalnya. “Tidak kenal sama sekali,” jelasnya.
Menanggapi kesaksian orang nomor satu di PKB itu, JPU M. Rum tampak meragukan pernyataan Muhaimin di persidangan. Bukan tanpa alasan dia menyebut ada yang janggal pada keterangan Muhaimin, terutama pernyataan tentang tidak tahunya dia ada surat usulan dana PPID bernomor B 73 senilai Rp500 miliar. “Harusnya tahu karena isi surat B 73 dan B 97 tidak jauh beda. Daerah yang diusulkan dan infrastukturnya sama,” katanya. Kalau Muhaimin bilang surat B 73 illegal dan dia tidak pernah tahu, Rum beda pendapat. Baginya, surat yang ditandatangani Sekjen Lutfi Muchtar itu sah.
Kenapa? Karena surat tersebut sudah merujuk dokumen B 97 yang ditandatangani sang menteri. Sementara itu, Ali Mudhori, salah satu saksi kunci dalam suap Kemenakertrans kembali mangkir dari persidangan kemarin. Itu artinya, dia harus didatangkan paksa karena mangkir selama dua sidang berturut-turut.
Kalau kepada M Rum, jaksa yang menangani perkara Dadong telah dikirimi surat sakit, tidak demikian kepada Jaya Sitompul. Jaksa yang menangani kasus Nyoman itu tidak menerima surat pemberitahuan apa pun dari Ali. “Kami sudah ke rumahnya Lumajang, dia menyatakan bersedia hadir, tapi hari ini tidak hadir,” tutur jaksa Jaya.
Ali Mudhori menjadi penting karena dia diduga berada di balik suap Kemenakertrans. Sebab, dia disebut bersama Sindu Malik, Fauzi, dan Iskandar Pasojo untuk mengatur pemberian fee Rp1,5 miliar dari Dharnawati ke Dadong dan Nyoman. Selama ini, dia tidak pernah memberikan kesaksian di pengadilan.
Namun, kabar yang berhembus di internal KPK menyatakan kalau Ali telah tertangkap petugas di sebuah hutan di Lumajang. Dia ditangkap sekitar pukul 22.00 pada 16 Februari lalu. Saat ditangkap, dia berada di suatu rumah bersama para pendukungnya dan mengaku sedang pengajian. Kabar tersebut memang masih simpang siur. Kalau memang sudah tertangkap, harusnya bukan perkara sulit untuk mendatangkan Ali ke persidangan kemarin. Nyatanya, hingga sidang, Dadong Irbarelawan dan Nyoman Suisnaya ditutup, Ali tidak terlihat sama sekali. (dim)