Kemendagri: Stop Pungut Retribusi

Senin 27-02-2012,01:37 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Pemkot Lalai, Rencana Dewan Konsultasi Dinilai Terlambat KESAMBI – Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) meminta Pemerintah Kota Cirebon menghentikan penarikan retribusi. Karena telah memungut tanpa payung hukum kepada masyarakat sebagai bentuk perbuatan ilegal. Juru bicara kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengatakan, saat ini pemkot dalam posisi dilematis. Karena, secara legalitas hukum, penarikan retribusi tanpa payung hukum harus dihentikan. Tapi, dilihat dari efektivitas, setiap kota tidak mau kehilangan PAD dari sektor retribusi. “Bila tidak dipungut, maka akan terjadi potencial lost. Tetapi kalau tetap dipungut, itu berarti bertentangan dengan hukum,” tegasnya, saat dihubungi koran ini melalui sambungan telepon, kemarin. Maka dari itu, kata perumus UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, bila sesuai hukum, maka pemkot harus segera menghentikan penarikan retribusi. Bila tetap ditarik, maka harus ada konsekuensi yang pemerintah kota Cirebon terima. Seperti mengembalikan uang yang sudah ditarik. “Kalau terus ditarik, dan nanti ada komplain dari masyarakat, pemerintah harus siap mengembalikan uang tersebut dan menempuh mekanisme retur. Karena, penarikan tersebut tanpa dasar hukum,” jelasnya. Menurut Reydonnyzar, kalaupun tetap ingin ditarik, pemkot harus meyakinkan masyarakat bahwa perda yang sudah ada mengacu pada UU 18 tahun 1997, UU 34 Tahun 200, PP No 65 Tahun 2001 dan PP No 66 tahun 2001. “Serta harus diyakinkan juga kalau perda yang ada itu tidak bertentangan dengan UU No 28 tahun 2009 itu,” tukasnya. Selain itu, kata dia, pemkot juga harus meyakinkan bila retribusi yang dipungut masuk ke kas daerah, dijadikan PAD tanpa kurang sedikit pun. Jangan sampai, karena tidak ada payung hukum malah dimanfaatkan oleh beberapa oknum. Sehingga uang retribusi yang dipungut masuk ke kantong pribadi. “Aturannya, setiap transaksi yang berupa pendapatan dan pengeluaran harus melalui kas umum daerah. Jangan sampai uang yang seharunya jadi PAD malah dimanfaatkan sebagian oknum,” tuturnya. Alumni FISIP UGM ini menilai, kekosongan hukum untuk masalah retribusi di Kota Cirebon bisa saja terjadi. Karena kelalaian pemkot. Karena, sejak UU No 28 tahun 2009 selesai, kemendagri telah melakukan asistensi. Ditanya mengenai rencana Badan Anggaran DPRD Kota Cirebon melakukan konsultasi ke kemendagri, Donny sangat mengapresiasi. “Kami terbuka dan sangat mengapresiasi. Walaupun memang sudah terlambat dan saya minta pemerintah kota Cirebon juga harus tetap segera menyelesaikan perda pengganti tersebut,” beber mantan Direktur Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah Depdagri ini. Dikonfirmasi, Sekretaris Daerah Kota Cirebon, Drs H Hasanudin Manap MM mengatakan, terkait penarikan retribusi yang masih ditarik, hari ini akan mengadakan rapat dengan OPD terkait. “Besok (hari ini, red), kami mau mengadakan rapat internal dengan OPD terkait retribusi ini,” jelasnya. Akademisi hukum Unswagati, Sigit SH MH mengatakan, bila pemkot tetap memaksa memungut retribusi, maka hal itu akan menjadi blunder tersendiri. Karena tidak ada dasar hukumnya, maka bila dipaksakan akan menjadi pungutan liar. Di satu sisi, kata dia, pemerintah juga berada dalam posisi terjepit. Di mana, bila tidak menarik retribusi, maka PAD akan menurun drastis. Tapi bila ditarik, justru akan menjadi bom waktu. “Masyarakat bisa saja bertanya, uang yang masuk itu akan dikemanakan? Di sini harus ada keharmonisasian antara eksekutif dan legislatif. Kalau dibiarkan terus (memungut, red) maka akan menjadi kecurigaan. Karena ini sangat erat dengan korupsi,” paparnya. Sigit mengatakan, yang akan menjadi masalah besar adalah saat kekosongan hukum dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk meraup keuntungan. Kalaupun masuk ke kas daerah juga tetap akan menjadi permasalahan hukum karena tidak ada payung hukumnya. “Kalau ditarik, jadi perbuatan melawan hukum. Dan akan timbul tanda tanya besar dari masyarakat, kalau uang tersebut tetap diambil tapi tidak ada dasar hukumnya. Pemkot dan eksekutif harus menyegerakan perda ini untuk menyelamatkan PAD,” tukasnya. Terpisah, Pengamat pemerintahan Juhaeni mengaku prihatin dengan masalah retribusi yang ada di Kota Cirebon. Ia merasa heran dengan jumlah PAD yang masuk ke kas daerah. Karena, seharusnya kota Cirebon mampu menarik nilai lebih dari sektor retribusi. Misalnya saja, kata dia, dari sektor retribusi PKL. Bila total PKL yang ada di kota Cirebon sebanyak 6.000 dan masing-masing ditarik Rp1000 sebagai retribusi, maka setiap harinya pemkot bisa mendapatkan Rp6 juta. “Bila dikalikan satu bulan, dari satu sektor saja bisa mencapai angka Rp180 juta. Bagaimana dengan sektor lainnya? Saya rasa bisa lebih banyak. Belum lagi parkir dan sektor lainnya,” jelasnya. Kekosongan payung hukum ini, kata dia, bisa saja dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri. “Uangnya itu lebih banyak ke kas mana? Kas daerah apa kantong sendiri?” ucapnya. Juhaeni mengatakan, bila tidak diatur dalam perda, maka retribusi yang dipungut bisa menjadi liar. Yang ada akan merugikan masyarakat. “Masyarakat berhak buat menolak, karena tidak ada dasarnya. Terlebih saya rasa pemasukan retribusi harusnya bisa lebih dari itu,” tukasnya. (kmg)

Tags :
Kategori :

Terkait